Sabtu, 24 Mei 2014

Destiny

Ketika takdir memberi aku kesempatan untuk memegang waktu dan memilih jalan hidupku sendiri.
***
Pagi datang. Tetapi semua terasa asing. Udara lebih dingin dari biasanya. Seketika itu pula Bethany teringat akan mimpinya. Seorang wantia dengan jubah abu-abu mendatanginya. Perempuan itu sangat misterius. "Kini takdirmu bisa kau tentukan sendiri," hanya itu yang ia katakan. Ia juga memberi selembar kertas yang digulung dengan pita hitam. Dan sekarang, gulungan berpita hitam itu kini ada dipangkuanku.
Perlahan aku membukanya, menarik pita hitam yang terikat cukup kuat. Aku menghentikan niatku. Aku letakan gulungan kertas itu di meja. Aku berlari keluar mencari Ibu atau Ayah. Tetapi tak aku temukan mereka. Aku melihat jam, ia tak berdetak. Aku pikir baterainya habis. Tetapi semua jam dirumahku berhenti. Mimpi buruk macam apa ini. Aku berlari kekamar dengan sangat kencang. Kembali terjun ke ranjang dan mulai meyakinkan diri membuka gulungan dengan cepat.
"Hidup atau mati?" hanya ada tulisan itu.
"Hidup." ucapku perlahan.
Seketika aku tertelan lorong waktu yang sangat panjang sampai aku menemukan ujungnya. Aku membuka mata dan melihat semua disekitarku menatapku seperti menemukan keajaiban. Ibu langsung memelukku, dilanjutkan dengan Ayah. Hansen hanya tersenyum melihatku dari sudut ruangan. Begitu pula dengan Romeo. Kekasihku.
***
”Bagaimana? Kau sudah menerimanya?” tanya Hansen ketika tersisa kami berdua.
"Menerima apa?" Bethany bingung.
"Takdirmu?"
"Takdir apa?" Bethany semakin bingung.
"Aku menyuruh Angeroila membawakanmu kertas itu." ujar Hansen sambil menunjuk gulungan kertas berpita hitam yang ada diatas meja.
"Jadi kertas itu benar-benar ada?" ujar Bethany.
"Menurutmu, takdir itu hanya gurauan?" Hansen memasang wajah kesal.
"Ayolah! Aku belum memahaminya." Bethany meminta pengertian Hansen.
Hansen adalah seseorang yang misterius. Ia bisa datang kapan pun ia mau. Ia mengenal keluargaku dan Romeo. Tetapi entah kenapa setiap aku ceritakan pada mereka tentang Hansen, mereka selalu bertanya, "Siapa Hansen?". Bisa jadi itu pertanyaan paling ingin aku ketahui jawabannya. Setelah aku bergumam dengan diriku sendiri, Hansen menghilang. Tak lama Romeo datang. Wajahnya memberikan ekspresi yang tak bisa aku deskripsikan.
"Boleh aku mengatakan sesuatu?"
"Apa?"
"Sepertinya, aku tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."
"Ya, pergilah." ujar Bethany sambil memalingkan badannya membelakangi Romeo.
"Kau tak......"
"Pergi!" ujar Bethany dengan sedikit membentak.
Tanpa kau mengatakannya, aku sudah cukup paham apa menyebabnya. Karena senyum sumringah belum tentu menggambarkan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, tangis yang mendalam bukan selalu mengatakan orang itu bersedih. Selalu ada baik diatas buruk dan benar diatas salah.
Aku mengambil kesimpulan, penyakitku yang semakin memburuk, membuat semua lelaki menatapku aneh. Kulitku yang lebih pucat dari perempuan lainnya, rambut yang mulai menipis karena obat-obat dan badanku yang kurus. Laki-laki mana yang akan jatuh cinta?
***
Bulan kembali memberi kesempatan pada matahari untuk memancarkan cahayanya. Aku hanya bisa berbaring dengan kondisi yang semakin memburuk. Aku buka lagi gulungan kertas berpita hitam itu.
"Sehat atau sakit?" isi baris kedua.
"Sehat," ucap Bethany.
Sejak itu, keadaan Bethany berangsur-angsur membaik. Leukimia itu mulai pergi. Kulit putih cerah, mata yang indah, rambut yang tebal kecoklatan dan tubuh yang ideal, didapatkan Bethany dalam waktu satu minggu. Semuanya berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Kini takdir benar-benar ada di tangannya.
Sejak itu, banyak laki-laki yang mulai mendekati Bethany. Termasuk Romeo. Sejak itu pula, Hansen jarang menemani Bethany. Sampai seorang laki-laki yang sangat mirip dengan Hansen. Hanya, laki-laki ini lebih pendiam. Namanya Kenathan. Orang-orang biasa memanggilnya Nathan. Laki-laki pendiam dan sangat misterius.
Nathan memang berbeda dengan laki-laki lainnya. Ia pendiam. Wajahnya tak terlalu tampan. Sering kali aku melihat Nathan bersama gitarnya. Andai aku mampu ingin aku mendekatinya. Andai dia tahu, namanya sudah memenuhi otakku. Seandainya pula, Hansen ada disini, aku kenalkan ia pada Nathan.
"Bethany..." seseorang memanggilnya. Bethany terkejut. Ternyata Romeo.
"Apa lagi maumu?"
"Apa tak ada kesempatan kedua bagiku?" tanya Romeo dengan wajah memohon. Bethany hanya menggeleng menandakan penolakan. Romeo mulai geram. Ia merasa sangat gagal sebagai seorang playboy sekolah. Ia pun bertkad untuk mengejar Bethany, ia akan menyingkirkan semua hal yang menjadi penghalang. Salah satunya Nathan.
***
Malam itu, Bethany duduk didepan meja belajarnya. Tiba-tiba ia melirik kearah gulungan kertas itu. Bethany mulai penasaran apa yang akan ia pilih lagi. Bethany meraih kerta itu dan membuka gulungannya.
"Romeo atau Nathan?"
"Nathan," jawab Bethany dengan penuh keyakinan.
Pada saat ini, yang Bethany tahu hanya mendapatkan takdir yang ia pilih. Tetapi, Bethany belum mengerti. Semuanya akan menjadi mimpi buruk.-italic. Hansen memandang Bethany dari kejauhan. Ia merasa bersalah. Ia hanya bisa memberikan harapan pada Bethany. Tetapi akhirnya semua akan kembali seperti semula. Tetapi semakin lama Bethany tinggal dalam takdir pilihanya, semuanya akan menjadi kenyataan. Tetapi Bethany tak akan berhenti saat ini.
"Malam Bethany," pesan singkat masuk dengan nomor yang tidak diketahui siapa pengirimnya.
"Malam, siapa ini?"      
"Aku, Nathan." membaca balasannya cukup membuat Bethany terkejut dan kegirangan.
"Dari mana kau dapat nomorku?"
"Aku mau bertanya tentang tugas Fisika." pertanyaan tadi tak terjawab.
"Aku sedang mengerjakan," jawab Bethany singkat.
"Baiklah. Kau sedang apa?"
"Mengerjakan Fisika,"
"Maaf aku lupa. Hehe..."
"Kau sendiri sedang apa?"
"Mengirim SMS untukmu."
Pembicaraan itu terus beelanjut sampai Bethany tertidur. Semuanya nampak sangat indah saat takdir itu bisa ditentukan sendiri.
Diujung telepon, ternyata itu bukan Nathan. Itu Romeo yang menggunakam nomor telepon baru untuk menjadi Nathan. Hansen tahu hal itu. Rasanya mimpi buruk itu akan segera datang. Rasanya tak tega melihat Bethany yang akan hancur. Tetapi, semua ini agar Bethany mengerti.
Hansen. Sebenarnya laki-laki misterius ini jatuh cinta pada Bethany. Tetapi tak pernah ia nyatakan. Karena semuanya sudah nampak mustahil sejak awal mereka saling mengenal. Cinta memang menyakitkan jika datangnya tiba-tiba dan tak melihat kondisi. Hansen hanya bisa berdiam, menunggu Bethany menyerah pada takdir itu.
***
Pagi itu, Bethany bergegas pergi ke sekolah untuk menemui Nathan. Cinta benar-benar membutakan segalanya. Tetapi cinta membuat Bethany tak henti-hentinya tersenyum saat itu. Sampai ia memijakkan kakinya di sekolah, dengan cepat ia menaru tas dan mencari Nathan.
"Nathan!" panggil Bethany. Seperti biasa, Nathan bermain gitar di belakang sekolah. Nathan membalas panggilan itu dengan senyuman.
"Boleh aku duduk disini?"
"Tentu," jawab Nathan. Lalu keheningan menyeruak diantara mereka. Hanya petikan gitar yang sedaritadi berbicara. Nathan terlalu pendiam, berbeda dengan Nathan yang kemarin.
"Kalau aku boleh tahu, siapa yang mengajarimu bermain gitar?" tanya Bethany.
"Ayahku." jawab Nathan, lalu ia menghentikan permainannya. Nathan menarik nafas sangat dalam.
"Kenapa?" tanya Bethany yang melihat ekspresi Nathan yang seolah mengingat sesuatu yang sangat menyakitkan.
"Ayahku, aku rindu padanya."
"Memang Ayahmu pergi kemana?" 
"Sana," ujar Nathan sambil menunjuk kearah langit.
"Tiada?"
"Iya.." jawab Nathan perlahan.
"Maaf, bukan maksudku."
"Tak apa, aku saja yang terlalu cengeng."
"Ternyata kau baik." puji Bethany.
"Selama ini, kau pikir aku jahat?"
"Bukan, kau terlalu dingin. Aku pikir kau arogan."
"Lalu mengapa kau berani mendekatiku?" pertanyaan yang sangat menjurus. Bethany bingung harus menjawab apa.
"Tak boleh?"
"Itu hakmu, kau perempuan pertama yang mengajakku berbicara." mendengar kalimat itu, Bethany tersenyum. Nathan kembali memetik gitarnya.
Tak lama, bel berbunyi, mereka sama-sama beranjak. Letak kelas mereka yang bersebelahan, membuat banyak waktu yang bisa mereka habiskan saat itu. Ketika akan memasuki pintu kelas, "Bethany!" panggil Nathan. Bethany menoleh. "Bisa kita pulang bersama nanti?" tanya Nathan. Bethany mengangguk sambil tersenyum. "Aku tunggu kau dibelakang sekolah." itu kalimat terakhir yang Nathan katakan pada Bethany pagi itu. Kalimat itu terus memenuhi pikiran Bethany selama jam pelajaran.
***
Akhirnya sampai juga pada pelajaran terakhir. Tiba-tiba gulungan kertas berpita hitam terbuka sendiri.
"Berhanti atau melanjutkan untuk memilih takdirmu?" pertanyaan yang aneh.
"Lanjut," bisik Bethany.
***
"Percuma Hansen, gadis ini memiliki kemauan yang kuat untuk memilih takdirnya." ujar Angeroila.
"Tetapi Dewi, semuanya akan sangat menyakitkan bagi Bethany."
"Bethany harus belajar untuk menerima resikonya."
"Tetapi, bukankah itu akan menjadi sebuah harapan bagi Bethany?"
"Tidak, Hansen. Ia akan mengerti pada waktu yang seharusnya. Kau lupa, aku ini hanya Dewi. Hanya Tuhan yang memiliki kuasa."
"Baiklah Dewi." Hansen berlalu. Wajahnya tampak sedih.
***
"Nathan?" panggil Bethany. Dibelakang sekolah tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi ada gitar Nathan. "Nathan, kau dimana?" tanya Bethany.
"Nathaaaannn!" Bethany histeris ketika melihat Nathan terkapar bersimbah darah. Tangisnya pecah. Mengapa ketika cinta sudah terbalas dengan baik, ada saja hal menyakitkan yang menghalanginya.
Siang sudah menjadi sore, Bethany masih dengan seragamnya menemani Nathan di rumah sakit. Rianty, Ibunda Nathan, sudah menyarankan agar Bethany pulang dan besok bisa kembali lagi. Tetapi, saran itu diabaikan Bethany.
Tiba-tiba terdengar suara dengingan yang tipis dan memekakkan telinga. Bunyi yang membuat Bethany terkejut. Alat pendeteksi detak jantung menampilkan garis lurus. "Nathan!" seru Bethany sambil menggoyangkan tubuh Nathan yang telah kaku.
"Sudah, dia sudah tiada. Jangan lagi kau cari dia." suara Hansen mengejutkan Bethany.
"Apa maksudmu?" tanya Bethany.
"Kau lupa, ini takdir yang kau pilih?" kata Hansen. Lalu Hansen menjentikan jarinya, seketika jam kembali berhenti. Tak ada manusia yang bergerak selain aku dan Hansen.
"Setiap hal pasti ada resikonya. Kau sekarang mengerti mengapa Tuhan tak pernah membiarkan manusia memilih takdirnya sendiri. Karena manusia yang satu akan membunuh manusia yang lain secara perlahan-lahan. Apa kau tahu siapa yang membunuh Nathan?"
"Siapa?" tanya Bethany penasaran.
"Romeo," ujar Hansen. Seketika itu tangis Bethany kembali pecah. Sakit rasanya mengetahui kematian Nathan yang disebabkan olehnya.
"Andai saja waktu itu aku memilih Romeo,"
"Bukan itu Bethany. Apa kau ingin tahu takdirmu yang sebenarnya? Atau kau ingin tetap tinggal disini?"
"Apa yang akan terjadi pada takdirku sebenarnya Hansen?"
"Sebenarnya, sejak pertama kau memilih takdir, itu adalah pilihan yang salah. Seharusnya..................."
"Seharusnya apa?"
"Seharusnya kau meninggal." mendengar kalimat itu, Bethany terduduk. Air matanya menetes. Tetapi tak sederas tadi. Bethany menarik nafas. Lalu ia berkata, "Aku siap kembali pada takdirku."
***
"Bethany, kau sudah bangun?"
"Ibu, sekarang aku mengerti mengapa aku harus pergi."
"Apa maksudmu?"
"Bolehkah sekarang aku pergi? Aku tak mau lagi menyakiti siapapun."
"Ibu tak bisa menjagamu, jika sakit itu hanya membuatmu tersiksa, pergilah."
Tak lama setelah kalimat itu, Bethany akhirnya meninggal. Setelah hampir sepuluh bulan ia koma. Mungkin ini titik yang tepat. Karena kematian bukanlah akhir dari segalanya. Karena kematian telah dirancang dengan indah oleh Tuhan, tergantung bagaimana manusia memandangnya.
***
Sekarang aku benar-benar mengerti. Mengapa Dia tak pernah membiarkan manusia memegang takdirnya sendiri. Hanya kadang manusia seperti aku terlalu keras kepala. Tetapi, aku tak pernah menyesalinya. Karena Dia telah menjelaskan kepadaku melalui Hansen. Kadang manusia tak perlu mencari, ia hanya perlu menunggu. Karena sejauh apapun kau berlari, kau tak akan menemukannya jika Dia belum mengijinkannya.
Kini Hansen yang misterius nampak lebih nyata. Kini aku bisa menyentuhnya. Ketika pertama kali menyentuhnya, aku memeluknya dengan erat. Aku menangis. Kadang yang harus kau lakukan hanya bersyukur atas apa yang kau dapatkan. Bukan tentang suka atau tidak, apa kau tahu, tak semua orang bisa seperti itu?
Mungkin dunia bukan dimensiku yang tepat, tetapi dimensi lain menungguku. Dengan cerita baru yang akan lebih membahagiakan bersama Hansen dan Nathan. Aku berharap akan begitu.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar