Ketika takdir memberi aku kesempatan untuk
memegang waktu dan memilih jalan hidupku sendiri.
***
Pagi datang. Tetapi semua terasa asing.
Udara lebih dingin dari biasanya. Seketika itu pula Bethany teringat akan
mimpinya. Seorang wantia dengan jubah abu-abu mendatanginya. Perempuan itu
sangat misterius. "Kini takdirmu bisa kau tentukan sendiri," hanya
itu yang ia katakan. Ia juga memberi selembar kertas yang digulung dengan pita
hitam. Dan sekarang, gulungan berpita hitam itu kini ada dipangkuanku.
Perlahan aku membukanya, menarik pita
hitam yang terikat cukup kuat. Aku menghentikan niatku. Aku letakan gulungan
kertas itu di meja. Aku berlari keluar mencari Ibu atau Ayah. Tetapi tak aku
temukan mereka. Aku melihat jam, ia tak berdetak. Aku pikir baterainya habis.
Tetapi semua jam dirumahku berhenti. Mimpi buruk macam apa ini. Aku berlari
kekamar dengan sangat kencang. Kembali terjun ke ranjang dan mulai meyakinkan
diri membuka gulungan dengan cepat.
"Hidup atau mati?" hanya ada
tulisan itu.
"Hidup." ucapku perlahan.
Seketika aku tertelan lorong waktu yang
sangat panjang sampai aku menemukan ujungnya. Aku membuka mata dan melihat
semua disekitarku menatapku seperti menemukan keajaiban. Ibu langsung
memelukku, dilanjutkan dengan Ayah. Hansen hanya tersenyum melihatku dari sudut
ruangan. Begitu pula dengan Romeo. Kekasihku.
***
”Bagaimana? Kau sudah menerimanya?” tanya
Hansen ketika tersisa kami berdua.
"Menerima apa?" Bethany bingung.
"Takdirmu?"
"Takdir apa?" Bethany semakin
bingung.
"Aku menyuruh Angeroila membawakanmu
kertas itu." ujar Hansen sambil menunjuk gulungan kertas berpita hitam
yang ada diatas meja.
"Jadi kertas itu benar-benar
ada?" ujar Bethany.
"Menurutmu, takdir itu hanya
gurauan?" Hansen memasang wajah kesal.
"Ayolah! Aku belum memahaminya."
Bethany meminta pengertian Hansen.
Hansen adalah seseorang yang misterius. Ia
bisa datang kapan pun ia mau. Ia mengenal keluargaku dan Romeo. Tetapi entah
kenapa setiap aku ceritakan pada mereka tentang Hansen, mereka selalu bertanya,
"Siapa Hansen?". Bisa jadi itu pertanyaan paling ingin aku ketahui
jawabannya. Setelah aku bergumam dengan diriku sendiri, Hansen menghilang. Tak
lama Romeo datang. Wajahnya memberikan ekspresi yang tak bisa aku deskripsikan.
"Boleh aku mengatakan sesuatu?"
"Apa?"
"Sepertinya, aku tak bisa lagi
melanjutkan hubungan ini."
"Ya, pergilah." ujar Bethany
sambil memalingkan badannya membelakangi Romeo.
"Kau tak......"
"Pergi!" ujar Bethany dengan
sedikit membentak.
Tanpa kau mengatakannya, aku sudah cukup
paham apa menyebabnya. Karena senyum sumringah belum tentu menggambarkan
kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, tangis yang mendalam bukan selalu
mengatakan orang itu bersedih. Selalu ada baik diatas buruk dan benar diatas
salah.
Aku mengambil kesimpulan, penyakitku yang
semakin memburuk, membuat semua lelaki menatapku aneh. Kulitku yang lebih pucat
dari perempuan lainnya, rambut yang mulai menipis karena obat-obat dan badanku
yang kurus. Laki-laki mana yang akan jatuh cinta?
***
Bulan kembali memberi kesempatan pada
matahari untuk memancarkan cahayanya. Aku hanya bisa berbaring dengan kondisi
yang semakin memburuk. Aku buka lagi gulungan kertas berpita hitam itu.
"Sehat atau sakit?" isi baris
kedua.
"Sehat," ucap Bethany.
Sejak itu, keadaan Bethany
berangsur-angsur membaik. Leukimia itu mulai pergi. Kulit putih cerah, mata
yang indah, rambut yang tebal kecoklatan dan tubuh yang ideal, didapatkan
Bethany dalam waktu satu minggu. Semuanya berjalan sesuai dengan apa yang ia
inginkan. Kini takdir benar-benar ada di tangannya.
Sejak itu, banyak laki-laki yang mulai
mendekati Bethany. Termasuk Romeo. Sejak itu pula, Hansen jarang menemani
Bethany. Sampai seorang laki-laki yang sangat mirip dengan Hansen. Hanya,
laki-laki ini lebih pendiam. Namanya Kenathan. Orang-orang biasa memanggilnya
Nathan. Laki-laki pendiam dan sangat misterius.
Nathan memang berbeda dengan laki-laki
lainnya. Ia pendiam. Wajahnya tak terlalu tampan. Sering kali aku melihat
Nathan bersama gitarnya. Andai aku mampu ingin aku mendekatinya. Andai dia
tahu, namanya sudah memenuhi otakku. Seandainya pula, Hansen ada disini, aku
kenalkan ia pada Nathan.
"Bethany..." seseorang
memanggilnya. Bethany terkejut. Ternyata Romeo.
"Apa lagi maumu?"
"Apa tak ada kesempatan kedua
bagiku?" tanya Romeo dengan wajah memohon. Bethany hanya menggeleng
menandakan penolakan. Romeo mulai geram. Ia merasa sangat gagal sebagai seorang
playboy sekolah. Ia pun bertkad untuk mengejar Bethany, ia akan menyingkirkan
semua hal yang menjadi penghalang. Salah satunya Nathan.
***
Malam itu, Bethany duduk didepan meja
belajarnya. Tiba-tiba ia melirik kearah gulungan kertas itu. Bethany mulai
penasaran apa yang akan ia pilih lagi. Bethany meraih kerta itu dan membuka
gulungannya.
"Romeo atau Nathan?"
"Nathan," jawab Bethany dengan
penuh keyakinan.
Pada saat ini, yang Bethany tahu hanya
mendapatkan takdir yang ia pilih. Tetapi, Bethany belum mengerti. Semuanya akan
menjadi mimpi buruk.-italic. Hansen memandang Bethany dari kejauhan. Ia merasa
bersalah. Ia hanya bisa memberikan harapan pada Bethany. Tetapi akhirnya semua
akan kembali seperti semula. Tetapi semakin lama Bethany tinggal dalam takdir
pilihanya, semuanya akan menjadi kenyataan. Tetapi Bethany tak akan berhenti
saat ini.
"Malam Bethany," pesan singkat
masuk dengan nomor yang tidak diketahui siapa pengirimnya.
"Malam, siapa
ini?"
"Aku, Nathan." membaca
balasannya cukup membuat Bethany terkejut dan kegirangan.
"Dari mana kau dapat nomorku?"
"Aku mau bertanya tentang tugas
Fisika." pertanyaan tadi tak terjawab.
"Aku sedang mengerjakan," jawab
Bethany singkat.
"Baiklah. Kau sedang apa?"
"Mengerjakan Fisika,"
"Maaf aku lupa. Hehe..."
"Kau sendiri sedang apa?"
"Mengirim SMS untukmu."
Pembicaraan itu terus beelanjut sampai
Bethany tertidur. Semuanya nampak sangat indah saat takdir itu bisa ditentukan
sendiri.
Diujung telepon, ternyata itu bukan
Nathan. Itu Romeo yang menggunakam nomor telepon baru untuk menjadi Nathan.
Hansen tahu hal itu. Rasanya mimpi buruk itu akan segera datang. Rasanya tak
tega melihat Bethany yang akan hancur. Tetapi, semua ini agar Bethany mengerti.
Hansen. Sebenarnya laki-laki misterius ini
jatuh cinta pada Bethany. Tetapi tak pernah ia nyatakan. Karena semuanya sudah
nampak mustahil sejak awal mereka saling mengenal. Cinta memang menyakitkan jika
datangnya tiba-tiba dan tak melihat kondisi. Hansen hanya bisa berdiam,
menunggu Bethany menyerah pada takdir itu.
***
Pagi itu, Bethany bergegas pergi ke
sekolah untuk menemui Nathan. Cinta benar-benar membutakan segalanya. Tetapi
cinta membuat Bethany tak henti-hentinya tersenyum saat itu. Sampai ia
memijakkan kakinya di sekolah, dengan cepat ia menaru tas dan mencari Nathan.
"Nathan!" panggil Bethany.
Seperti biasa, Nathan bermain gitar di belakang sekolah. Nathan membalas
panggilan itu dengan senyuman.
"Boleh aku duduk disini?"
"Tentu," jawab Nathan. Lalu
keheningan menyeruak diantara mereka. Hanya petikan gitar yang sedaritadi
berbicara. Nathan terlalu pendiam, berbeda dengan Nathan yang kemarin.
"Kalau aku boleh tahu, siapa yang
mengajarimu bermain gitar?" tanya Bethany.
"Ayahku." jawab Nathan, lalu ia
menghentikan permainannya. Nathan menarik nafas sangat dalam.
"Kenapa?" tanya Bethany yang
melihat ekspresi Nathan yang seolah mengingat sesuatu yang sangat menyakitkan.
"Ayahku, aku rindu padanya."
"Memang Ayahmu pergi
kemana?"
"Sana," ujar Nathan sambil
menunjuk kearah langit.
"Tiada?"
"Iya.." jawab Nathan perlahan.
"Maaf, bukan maksudku."
"Tak apa, aku saja yang terlalu
cengeng."
"Ternyata kau baik." puji
Bethany.
"Selama ini, kau pikir aku
jahat?"
"Bukan, kau terlalu dingin. Aku pikir
kau arogan."
"Lalu mengapa kau berani
mendekatiku?" pertanyaan yang sangat menjurus. Bethany bingung harus
menjawab apa.
"Tak boleh?"
"Itu hakmu, kau perempuan pertama
yang mengajakku berbicara." mendengar kalimat itu, Bethany tersenyum.
Nathan kembali memetik gitarnya.
Tak lama, bel berbunyi, mereka sama-sama
beranjak. Letak kelas mereka yang bersebelahan, membuat banyak waktu yang bisa
mereka habiskan saat itu. Ketika akan memasuki pintu kelas,
"Bethany!" panggil Nathan. Bethany menoleh. "Bisa kita pulang
bersama nanti?" tanya Nathan. Bethany mengangguk sambil tersenyum.
"Aku tunggu kau dibelakang sekolah." itu kalimat terakhir yang Nathan
katakan pada Bethany pagi itu. Kalimat itu terus memenuhi pikiran Bethany selama
jam pelajaran.
***
Akhirnya sampai juga pada pelajaran
terakhir. Tiba-tiba gulungan kertas berpita hitam terbuka sendiri.
"Berhanti atau melanjutkan untuk
memilih takdirmu?" pertanyaan yang aneh.
"Lanjut," bisik Bethany.
***
"Percuma Hansen, gadis ini memiliki
kemauan yang kuat untuk memilih takdirnya." ujar Angeroila.
"Tetapi Dewi, semuanya akan sangat
menyakitkan bagi Bethany."
"Bethany harus belajar untuk menerima
resikonya."
"Tetapi, bukankah itu akan menjadi
sebuah harapan bagi Bethany?"
"Tidak, Hansen. Ia akan mengerti pada
waktu yang seharusnya. Kau lupa, aku ini hanya Dewi. Hanya Tuhan yang memiliki
kuasa."
"Baiklah Dewi." Hansen berlalu.
Wajahnya tampak sedih.
***
"Nathan?" panggil Bethany.
Dibelakang sekolah tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi ada gitar Nathan.
"Nathan, kau dimana?" tanya Bethany.
"Nathaaaannn!" Bethany histeris
ketika melihat Nathan terkapar bersimbah darah. Tangisnya pecah. Mengapa ketika
cinta sudah terbalas dengan baik, ada saja hal menyakitkan yang menghalanginya.
Siang sudah menjadi
sore, Bethany masih dengan seragamnya menemani Nathan di rumah sakit. Rianty,
Ibunda Nathan, sudah menyarankan agar Bethany pulang dan besok bisa kembali
lagi. Tetapi, saran itu diabaikan Bethany.
Tiba-tiba terdengar
suara dengingan yang tipis dan memekakkan telinga. Bunyi yang membuat Bethany
terkejut. Alat pendeteksi detak jantung menampilkan garis lurus.
"Nathan!" seru Bethany sambil menggoyangkan tubuh Nathan yang telah
kaku.
"Sudah, dia sudah tiada.
Jangan lagi kau cari dia." suara Hansen mengejutkan Bethany.
"Apa
maksudmu?" tanya Bethany.
"Kau lupa, ini
takdir yang kau pilih?" kata Hansen. Lalu Hansen menjentikan jarinya,
seketika jam kembali berhenti. Tak ada manusia yang bergerak selain aku dan
Hansen.
"Setiap hal pasti
ada resikonya. Kau sekarang mengerti mengapa Tuhan tak pernah membiarkan
manusia memilih takdirnya sendiri. Karena manusia yang satu akan membunuh
manusia yang lain secara perlahan-lahan. Apa kau tahu siapa yang membunuh
Nathan?"
"Siapa?" tanya
Bethany penasaran.
"Romeo," ujar
Hansen. Seketika itu tangis Bethany kembali pecah. Sakit rasanya mengetahui
kematian Nathan yang disebabkan olehnya.
"Andai saja waktu
itu aku memilih Romeo,"
"Bukan itu Bethany.
Apa kau ingin tahu takdirmu yang sebenarnya? Atau kau ingin tetap tinggal
disini?"
"Apa yang akan
terjadi pada takdirku sebenarnya Hansen?"
"Sebenarnya, sejak
pertama kau memilih takdir, itu adalah pilihan yang salah.
Seharusnya..................."
"Seharusnya
apa?"
"Seharusnya kau
meninggal." mendengar kalimat itu, Bethany terduduk. Air matanya menetes.
Tetapi tak sederas tadi. Bethany menarik nafas. Lalu ia berkata, "Aku siap
kembali pada takdirku."
***
"Bethany, kau sudah
bangun?"
"Ibu, sekarang aku
mengerti mengapa aku harus pergi."
"Apa
maksudmu?"
"Bolehkah sekarang
aku pergi? Aku tak mau lagi menyakiti siapapun."
"Ibu tak bisa
menjagamu, jika sakit itu hanya membuatmu tersiksa, pergilah."
Tak lama setelah kalimat
itu, Bethany akhirnya meninggal. Setelah hampir sepuluh bulan ia koma. Mungkin
ini titik yang tepat. Karena kematian bukanlah akhir dari segalanya. Karena
kematian telah dirancang dengan indah oleh Tuhan, tergantung bagaimana manusia
memandangnya.
***
Sekarang aku benar-benar mengerti. Mengapa Dia tak pernah membiarkan manusia
memegang takdirnya sendiri. Hanya kadang manusia seperti aku terlalu keras
kepala. Tetapi, aku tak pernah menyesalinya. Karena Dia telah menjelaskan
kepadaku melalui Hansen. Kadang manusia tak perlu mencari, ia hanya perlu
menunggu. Karena sejauh apapun kau berlari, kau tak akan menemukannya jika Dia
belum mengijinkannya.
Kini Hansen yang misterius nampak lebih nyata. Kini aku bisa menyentuhnya.
Ketika pertama kali menyentuhnya, aku memeluknya dengan erat. Aku menangis.
Kadang yang harus kau lakukan hanya bersyukur atas apa yang kau dapatkan. Bukan
tentang suka atau tidak, apa kau tahu, tak semua orang bisa seperti itu?
Mungkin dunia bukan dimensiku yang tepat, tetapi dimensi lain menungguku.
Dengan cerita baru yang akan lebih membahagiakan bersama Hansen dan Nathan. Aku
berharap akan begitu.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar