Angin terus menerpa rambut coklatnya.
Sinar matahari terus menyinari kulit putih pucatnya. Bibirnya yang kemerahan
tanpa polesan apapun semakin kontras terlihat. Pohon yang rindang tak bisa
melindungi Alana dari teriknya matahari. Sudah cukup lama Alana duduk disana
sambil memandangi kertas yang belum ia coret sedikitpun. Sedangkan di
sampingnya, gumpalan kertas yang sudah lusuh bertebaran.
“Hei!” seru Alana ketika seorang
laki-laki dengan kursi rodanya lewat. Entah apa yang membuat Alana
memanggilnya. Rasanya sapaan itu terlontar tanpa di prediksi. Untung saja
laki-laki itu tak menengok. Alana terus memandangi laki-laki itu sampai hilang
dalam keramaian taman itu. Sepertinya laki-laki dan kursi rodanya sudah masuk
pada bagian paling dalam di taman itu.
Pada ujung taman yang memakan waktu
sekitar lima belas menit. Namun ketika ia tepat berada satu meter dibelakang
laki-laki itu, ia berhenti. Ia hanya menatap laki-laki itu dari belakang.
Keheningan Alana tak membuat laki-laki itu tertipu.
“Ada apa?” tanya laki-laki itu. Alana
cukup terkejut saat laki-laki itu bisa mengetahui keberadaanya. “Tidak, aku
hanya...” Alana bingung ingin berkata apa, karena ia sendiri tidak tahu apa
yang terjadi pada dirinya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Rasa takut,
senang, penasaran dan bodoh bergelayut dalam benaknya. Laki-laki itu membalikan
kursi rodanya, “Hanya?” tanyanya. Mereka hanya saling berpandangan beberapa
detik.
Wajah laki-laki itu pucat, mungkin ia
akan sangat tampan jika kulitnya sedikit kecoklatan. “Jadi?” pertanyaan itu
memecahkan lamunan Alana. Namun Alana malah membalikan badan dan berlari keluar
taman. Jantung Alana masih berdetak begitu cepat, namun bibirnya tersenyum.
Alana merasa seperti gadis bodoh. Itu bukan laki-laki pertama yang ia temui,
namun baru kali ini ia benar-benar tak bisa berkata apapun.
“Tiba-tiba otakku
ini berpikir tentang hal yang sama sekali tak pernah tertarik untuk dibahasnya.
Dan ketika kami mulai membahasnya bersama, itu semua terasa sangat aneh. Aku
pun kadang malu untuk mengatakan pada diriku sendiri apa yang aku rasakan.
Jadi, apa aku
jatuh cinta?
Rasanya tak mungkin. Hal yang paling konyol yang pernah aku percaya. Seperti novel-novel tebal penghantar tidurku sejak aku remaja. Cerita-cerita tentang cinta pada pandangan pertama. Apa aku mengalaminya?”
Rasanya tak mungkin. Hal yang paling konyol yang pernah aku percaya. Seperti novel-novel tebal penghantar tidurku sejak aku remaja. Cerita-cerita tentang cinta pada pandangan pertama. Apa aku mengalaminya?”
Siang berganti petang. Matahari pun
mulai kelelahan. Semilir angin berhembus, menerbangkan dedaunan. Hanya itu
pemandangan Alana sore itu. Tak lama Alana beranjak dari kursinya dan menuju ke
dapur untuk mengambil segelas air. Terdengar sirine ambulan yang menderu. Alana
pun penasaran, tak lama Bibi Naha lewat. “Bi, ada apa sih? Sampai ada ambulan
begitu?” tanya Alana. “Itu non, tetangga baru ada yang sakit.” jawab Bibi Naha,
Alana hanya mengangguk tanpa berpikir tentang apapun.
***
Senja berganti malam dan malam berganti
pagi. Pagi yang nampaknya akan membosankan. Setelah lulus dari Sekolah Menengah
Atas, Alana hanya berdiam di rumah sampai kuliahnya dimulai. Alana duduk di
depan jendela. Sebuah mobil sedan hitam melaju, beberapa anak dengan sepeda
roda tiganya bersenda gurau dikala ibu-ibu mereka sibuk dengan pembicaraannya
sendiri. Tak lama laki-laki yang kemarin ia temui lewat. Namun, terlihat
sedikit samar. Laki-laki itu melambaikan tangan padanya. Alana hanya
membalasnya dengan senyuman. Lalu laki-laki itu berlalu.
Alana menuju ruang makan untuk menyantap
sarapannya. “Pagi Ayah, Ibu!” ucap Alana yang masih dengan piyamanya. “Kau
belum mandi?” tanya Ibu. Alana menggeleng, “Lagi pula aku hanya dirumah.” Alana
memberi alasan. “Ya sudah, terserah kamu saja. Ibu sama Ayah kerja dulu ya...”
pamit Ayah dan Ibu Alana pada anak satu-satunya itu. Ciuman hangat di kening
sebagai tanda perpisahan sementara dengan orang tuanya.
Alana kembali ke kamarnya. Tiba-tiba ia
ingat pada laki-laki yang ia temui di taman kemarin. Tanpa membuang waktu lebih
lama, Alana menuju taman dan duduk ditempat yang sama dengan harapan laki-laki
itu akan lewat lagi. Kali ini ia hanya membawa beberapa kertas untuk
menemaninya, namun tak ia pandang sedikitpun. Matanya terus memandang kearah
pintu taman satu-satunya.
Dua jam berlalu, rasanya seperti
membuang waktu untuk hal yang tak diketahui. Namun perasaan ini tetap ingin
menanti. Entah apa yang ia cari, namun ada satu hal yang ia ingin raga ini juga
tahu. Tak lama sebuah mobil keluar dari sebuah rumah yang tepat didepan taman
itu. Rumah itu nampak sepi. Namun perasaan ingin membawa raga kesana.
Alana beranjak dari duduknya, ia sampai
didepan gerbang tepat saat satpam rumah itu hendak menutup gerbang hitam
mengkilat itu. “Ada yang bisa saya bantu, non?” tanya satpam itu dengan ramah.
“Iya pak, saya mau tanya, yang tinggal disini siapa ya?” Alana mulai mencari
informasi. “Disini rumah Ibu Susan.” jawab satpam itu dengan singkat. “Tidak
ada laki-laki yang tinggal disini?” tanya Alana. “Oh, ada, den Rando.” jawab
satpam itu. “Oh begitu, makasih ya pak atas informasinya.” ujar Alana dengan
ramah.
“Oh iya, lalu mengapa rumah ini sepi?”
Alana kembali bertanya tiba-tiba.
“Penyakitnya den Rando lagi kumat non,
jadi semuanya dirumah sakit.”
“Rumah sakit? Rumah sakit mana?”
“Sebentar non, saya tulisin alamatnya
ya...” tidak lama satpam itu membawa kertas kecil.
“Makasih ya Pak.” tutur Alana.
***
Alana menjatuhkan diri ke ranjangnya.
Sambil memandang kertas yang ia dapatkan tadi. “Jadi, namanya Rando.” ucap
Alana. Rasanya kali ini Alana yakin untuk menyebut perasaannya itu cinta. Cinta
pertama pada pandangan pertama yang tak pernah disangka Alana. Alana segera
bersiap menuju alamat itu untuk melihat keadaan Rando.
Tidak memakan waktu lama untuk sampai ke
rumah sakit. Menemukan kamar Rando. Namun, sama seperti saat pertama mereka
bertemu, Alana terdiam ketika sampai didepan pintu kamar nomor seratus lima
belas itu. Alana hanya menatap Rando dari kaca transparant kecil dipintu itu.
Sampai tiba-tiba Rando menunjuk kearahnya dan mambuat Ibunda Rando menengok
kearahnya.
Seorang wanita berbaju tosca dengan
celana bahan hitam dan wajah yang awet muda dan nampak ramah berjalan menuju
pintu. “Kamu temannya Rando ya... Ayo masuk!” ajak Susan dengan ramah. Alana
hanya tersenyum sambil mengangguk. “Kamu temen Rando pas SD atau SMP?” tanya
Alana. Alana pun bingung mau menjawab apa, ketika Alana mulai membuka mulutnya
untuk menjawab, tiba-tiba suster masuk dan mengajak Susan keluar menemui
dokter.
Seketika keadaan ruangan sangat hening.
Alana mengepal kedua tangannya sambil tersenyum malu. “Hai...” kata Alana.
Rando mengangguk sambil tersenyum. “Kau yang pernah berlari saat aku ajak
bicara bukan?” tanya Rando. “Hehehe... Maaf, bukan maksudku membuatmu merasa
begitu.” ujar Alana. “Iya, aku mengerti. Lalu kenapa kau kesini?” tanya Rando
penasaran. “Aku hanya....” Alana terdiam mencari jawaban. “Hanya apa?” Rando
penasaran. “Hanya ingin mengenal tetangga di depan taman.” jawab Alana sambil
tersenyum. Rando membalas senyum Alana. Rasanya sejak saat itu ada hal yang
berbeda dalam diri Alana.
“Hari ini
semuanya benar-benar menjadi nyata. Cerita-cerita tentang pertemuan pertama,
cinta pada pandangan pertama, jatuh cinta pada seorang yang baru ditemui,
pokoknya semua novel-novel yang perah aku baca. Kini semua itu sudah aku
pahami. Mengapa tokoh ini begini dan mengapa tokoh lainnya begitu.
Atau suatu
ketika, dikala si penulis mengatakan hal-hal yang tak masuk akal bagiku. Sampai
detik ini aku benar-benar mengerti. Hanya satu bagian lagi yang belum aku
pahami. Sebagian cerita cinta memberi akhir yang bahagia. Dimana keduanya akan
bersatu. Namun, cerita lainnya memberikan kisah yang menyebalkan, sedih atau
bahkan akhir yang menggantung.
Lalu, akhir yang
mana yang aku rasakan?”
Alana terus tersenyum sambil menulis.
Hatinya benar-benar berbunga-bunga. Alana belum tahu ada satu bagian dimana
cinta itu akan menjadi monster, dinding besar yang sulit dipanjat dan hal-hal
sulit lainnya. Sulit untuk melupakan, sulit untuk menerima cinta lainnya dan
sulit untuk memilih.
***
Malam itu rumah sakit sangat sepi, Susan
masih menemani Rando dengan setia. Tiba-tiba suara dengung terdengar dari mesin
pencatat detak jantung. Teriakan spontan pun terdengar dengan lantang dari
kamar nomor 115 itu. “Dokteeeerrr! Susteeeerrr! Dokteeeerrrr! Susteeerrrrr!”
teriak Susan. Tak lama setelahnya para medis datang. Suster meminta Susan
menunggu diluar.
Malam itu pula Alana rasanya tak bisa
memejamkan matanya. Kamarnya tak panas, tidak juga berbau tak sedap. Namun
keringat dingin terus mengucur. Badannya gemetar. Sampai ia mulai tidak
menyadarkan diri. Wajahnya pucat pasih dan keringat terus mengucur.
“Alana...” terdengar seseorang memanggil
namanya.
“Iya, siapa itu?” tanya Alana. Ruangan
itu putih, semuanya putih. Rasanya Alana sedang berada dalam sebuah cerita
novel.
“Ini aku, Rando” jawab suara itu.
Bersamaan dengan Alana yang sedang membalikan badan.
“Dimana ini?”
“Entah... Aku tak mengerti.”
“Lalu?”
“Lalu apa?”
“Ada yang bisa kita bicarakan?” Rando
mulai bosan.
“Ada.”
“Apa itu?” tanya Rando yang diiringi
keheningan Alana.
“Aku...” Alana mulai berbicara. Alana
menatap wajah Rando. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa...” Alana kembali
menjeda pembicaraannya. Wajah Rando terlihat samar.
“Alana, ayo segara! Aku harus pergi...”
Rando mulai berdiri.
“Aku ingin mengatakan bahwa...” Rando
semakin samar, seolah tertelan cahaya. “Aku jatuh cinta pada dirimu...” namun
Rando sudah menghilang. “Rando, aku jatuh cinta padamu.” Alana terduduk
diruangan putih itu. Ia tertunduk, air matanya pun menetes. “Rando, jangan
pergi.”
“Dokter bagaimana keadaan Rando?” tanya
Susan. “Rando koma. Kini semua hidupnya sudah tergantung pada mesin-mesin.
Hanya semangat yang bisa membuat ia pulih.” Dokter menjelaskan dengan singkat.
“Lalu? Apa ada cara untuk mempercepat dengan obat atau terapi?” tanya Susan.
“Penyakit Rando belum kami temui apa obatnya. Jenis penyakitnya pun belum
pernah kami temui.” kata Dokter.
“Rando!” Alana tersadar. Matanya mulai
menyesuaikan dengan cahaya yang sangat memekakkan. Alwalnya semua terlihat
buram, sampai beberapa detik ia kembali pada kesadarannya.
“Alana...” sambut sang Bunda. “Ibu, ini
dimana?” tanya Alana. “Semalam kau demam, wajahmu sangat pucat. Akhirnya Ibu
dan Ayah membawa kau kesini.” kata Ayahnya yang tiba-tiba masuk. “Lalu...,”
Alana menghentikan niatnya untuk mengatakan hal itu. “Lalu? Apa?” tanya Ibu.
“Tak ada apa-apa.” kata Alana sambil menengok kearah samping dan menengok
kearah kalender yang tepat ada di sampingnya.
“Rumah sakit ini...,” batin Alana
bergumam. “Rando,” ujar Alana dalam hati. Rasanya Alana ingin sekali bangkit
dari tempat tidur, tapi badannya sangat ringkih. Tapi hatinya ingin segera
bangkit. Hanya untuk melihat Rando dari kejauhan, rasanya bukan permintaan yang
sulit.
***
Malam telah larut, suasana sangat
hening. Setiap gerakan akan menjadi suara bergema yang sangat keras. Alana tak
bisa tidur malam itu, sepanjang hari sudah ia habiskan dengan tidur. Tiba-tiba
terdengar suara ribut diluar. Seorang wanita yang menangis, decitan roda
ranjang rumah sakit yang berjalan cepat ditambah langkah kaki yang terburu-buru
membuat sepanjang lorong itu sangat ramai.
Tiba-tiba muncul niat Alana untuk
mengetahui keadaan Rando. Dengan memanfaatkan suara ribut diluar, Alana bangun dari ranjang dan
keluar membawa infusnya. Tak sama sekali Ibu dan Ayahnya terbangun. Alana
manutup pintu perlahan. Ia menatap kearah suara bising tadi, tepat saat ranjang
pasien itu berbelok. Alana kembali fokus pada tujuan utamanya.
Perlahan Alana berjalan dan bertapa
terkejutnya melihat kamarnya dengan Rando bersebelahan. Kaca didepan pintu yang
memberi kabar tentang apa yang ada didalamnya. Namun, apa yang ia sampaikan
sama sekali tak diinginkan Alana. Alana hanya terdiam. Banyak hal mucul dalam
hati Alana, semuanya bertanya tentang dimana Rando? Kemana dia? Kapan dia
pergi?
“Ini bukan hal
yang baik. Namun bukan hal buruk pula. Saat melihatnya pun aku hanya bisa
terdiam. Bukan hal yang harus ditakutkan, bukan pula sesuatu yang menyeramkan.
Bukan, selama aku belum tahu bagaimana keadaan Rando.
Aku sebenarnya
ingin bertemu dengannya, tapi jika ia sudah pulang bukannya itu hal baik? Tapi
bagaimana jika Rando memburuk? Apa yang terjadi padanya setelah itu? Lalu
kemana aku harus menemuinya? Kenapa ia malah pergi saat aku mulai
berkata-kata?”
Alana menutup buku kecilnya. Ia masih
terduduk di kamar kosong yang pernah Rando tempati. Matanya sembab, wajahnya
pun masih pucat. Sampai ia kehilangan kesadarannya tepat di sudut ruangan itu.
Alana merasakan sesak di dadanya, rasanya seperti mengejar sesuatu yang tak
bisa ia capai. Padahal menurutnya hal tersebut sederhana.
***
“Hei...” suara seorang wanita terdengar
memanggilnya. Rasanya ruangan itu sangat dingin, selama apapun Alana mencoba
membuka matanya semuanya terlihat gelap, paling tidak hanya buram. “Siapa
kamu?” tanya Alana. “Alana, ini tante, Mamanya Rando.” Jawab wanita itu.
“Iya...” Alana kembali tak menyadarkan dirinya. Susan segera memanggil dokter.
Alana segera ditangani dan dikambalikan ke ruangannya.
“Permisi, Bu.” sapa Susan ramah kepada
Ibunda Alana yang terbangun karena mendengar anaknya tak ada di kamar.
“Iya...” jawab Lestari.
“Ibu, Mamanya Alana?”
“Iya... Darimana Ibu mengenal anak
saya?” Lestari bingung.
“Beberapa hari lalu, Alana datang
menjenguk anak saya.”
“Anak Ibu? Siapa namanya?”
“Rando.” jawab Susan. Nama yang selalu
disebut Alana saat ia mengigau.
“Lalu, Rando?” tanya Lestari.
“Rando koma tepat dua hari setelah
kedatangan Alana. Saya memutuskan membawanya ke Amerika. Medis disana lebih
lengkap, lagi pula suami saya pun bekerja disana.” jawab Susan.
“Boleh saya minta alamat kalian disana?”
tanya Lestari. Susan segera menarik secarik kertas dari dalam tasnya. Lalu
menuliskan sebuah nama jalan yang identik dengan negara Paman Sam itu.
“Ini Bu. Kalau begitu saya mau pulang
dulu mengurus Rando dan bersiap untuk berangkat. Jika Alana mau bertemu Rando,
besok jam delapan malam kami sudah di Bandara Soekarno-Hatta. Kami akan
berangkat pukul sembilan malam.” ujar Susan sambil berlalu.
Belum hilang Susan dari pandangan
Lestari, Dokter keluar. “Dokter, bagaimana?” tanya Lestari. “Alana hanya
kedinginan semalam.” kata Dokter. Lestari mulai tenang. Tak lama suaminya
datang, “Bagaimana Bu keadaan Alana?” tanya pria itu. “Dia baik-baik saja,
Yah...” jawab Lestari dengan senyumannya.
***
Malam itu hanya tinggal mereka berdua,
Lestari dan Alana. Mereka sama-sama terdiam. Lestari bingung harus memulai dari
mana. Sedangkan Alana tampak sedang memikirkan sesuatu. Tak ada kalimat yang
pas untuk mengabarkan kabar buruk pada orang yang sakit. Sakit dan nampak
depresi sebenarnya. Lestari terus memandangi wajah Alana.
“Sayang, Ibu ingin bertanya.” Lestari
menatap anaknya lekat-lekat.
“Iya, Bu... Ada apa? Apa Alana sakit
parah?” Alana benar-benar sudah menyamakan hidupnya dengan novel-novel yang
sering ia baca. Semuanya terjadi sejak Rando ada didalam pikirannya.
“Tidak. Ini tentang...” Lestari menarik
nafas, Alana menatap Ibunya dengan wajah bertanya-tanya. “Tentang Rando,” Alana
terdiam, matanya tak berkedip. Matilah
aku, apa yang akan Ibu tanyakan tentang Rando, ujar Alana dalam hatinya.
“Ada apa dengan Rando?”
“Apa benar kau mencarinya tadi malam?”
“Iya...” jawab Alana sambil menunduk.
“Siapa dia?” tanya Lestari dengan nada
lembut. Alana masih menunduk, ia benar-benar takut terlihat bodoh, konyol
bahkan aneh didepan Ibunya. Lestari menatap anaknya dengan berkaca-kaca.
Rasanya bayak hal yang ia lewatkan
tentang Alana. Lestari merasa gagal menjadi seorang Ibu. Ia tidak sadar bahwa
anaknya sudah menjadi seorang gadis, seorang gadis yang telah mengerti apa itu
cinta dan mengerti apa rasanya kehilangan. Lestari takut kepergian Rando
membuat Alana hancur. Rasanya apapun hal yang ingin ia lakukan, pada akhirnya
hanya akan ia lakukan untuk putri tunggalnya. Namun, apa yang kini bisa ia
lakukan? Ia tak tahu bagaimana cara menghibur putrinya yang akan sedih.
“Alana, jawab Ibu. Ibu tak akan marah
padamu.” Lestari meyakinkan Alana. Alana masih diam seribu bahasa. Matanya
terus mengarah pada selimut putih yang menutupi kakinya.
“Dia adalah...” Alana mulai membuka
mulutnya. Ia menarik nafas panjang, seolah-olah ada hal besar yang harus ia
katakan dan harus ia terima konsekuensinya. “Aku tak mengerti siapa dia. Dia
hanya membuatku merasa bahagia tanpa harus hadir disini.” ucap Alana dengan
cepat. Lestari memeluk anaknya itu. Sembari berbisik, “Anak Ibu sudah remaja.
Maaf jika Ibu tak pernah mengamatimu saat kau pertama kali bisa berjalan, bisa
berbicara, bahkan kau bisa menyebut panggilan ‘Ibu’ dengan sempurna.”
Lestari keluar dengan air mata yang
berurai. Ia menabrak suaminya, “Ibu? Ibu kenapa?” tanya Yenan sambil menarik
istrinya itu ke kursi tepat disamping pintu. “Ayah, Ibu benar-benar merasa
bodoh. Ibu hanya merasa gagal, Ibu tak sadar bahwa Alana sangat membutuhkan
aku.” isakannya masih terdengar. “Ibu, jangan berkata seperti itu, Alana sangat
mengerti kau. Ia tak pernah protes dengan keputusanmu.” Yenan menenangkan.
“Alana tidak akan marah dengan apa yang aku putuskan, karena ia terbiasa tanpa
aku. Ibu macam apa yang tak mengerti bagaimana cara membuat anaknya bahagia?”
ujar Lestari. “Maksud Ibu?” tanya Yenan.
“Alana kita sudah remaja, ia sudah
mengenal cinta. Ia masih melihat sisi indah dari cintanya. Kini sisi buruknya
datang. Rando, laki-laki yang ia cintai, harus berobat ke Amerika. Alana pasti
akan hancur.” tutur Lestari dengan uraian air matanya.
“Apa Bu? Rando akan ke Amerika?” suara
itu membuat Lestari terkejut. “Mengapa Ibu tak bilang?” tanya Alana. “Bukan itu
maksud Ibu,....” Alana berlari melewati lorong dengan membawa infusnya.
“Alanaa...” Lestari mencoba mengejar, namun Yenan melarangnya. “Kadang ada hal
yang harus dibiarkan berlangsung walau itu menyakitkan. Alana perlu belajar
untuk itu.” kata Yenan sambil memeluk istrinya.
***
“Hal yang sangat
bodoh, hal paling bodoh yang tak pernah aku temui. Bagaimana jika kau
kehilangan orang yang kau cintai? Hanya untuk menatap wajahnya terakhir kali
saja tak sempat. Sejujurnya aku rindu. Rindu padanya, rindu mendengar
ceritanya. Rasa rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Apa bisa kita
berjumpa lagi? Berjumpa dengan perasaan yang sama. Rasanya akan sulit. Namun,
bukan tak mungkin kan?”
Alana terus menatap kota Jakarta dari
atap gedung itu. Rasanya sejak mengenal Rando terlalu banyak air mata yang ia
keluarkan. Namun, itu sebanding dengan rasa bahagia yang lebih dari segalanya.
Alana hanya terdiam, nama Rando terus mengiang di telinga dan otaknya. Ia
benar-benar hancur. Hancur karena hal yang ia sendiri baru menjalaninya.
Dari belakang, Yenan hanya bisa melihat
Alana yang terus mengusap air matanya. Ia memang seorang pria. Namun posisinya
kali ini bukan pria muda yang sedang mencari cintanya, tetapi menjadi seorang
ayah. Ayah yang mencoba mengerti putrinya. Ditangannya pun tergenggam selembar
kertas kecil yang sudah lusuh. Yenan mulai berjalan mendekati Alana.
“Ini... Ini alamat Rando di Amerika.
Jika kau mencintainya kejar dia.” kata Yenan.
“Maksud Ayah? Menyusulnya ke Amerika?”
Alana bingung.
“Iya... Setelah kau menjadi sarjana.”
ujar Yenan sambil menengok ke arah anaknya. Alana bangkit dari duduknya dan
memeluk sang Ayah. Senyum terpancar di wajahnya. Menang bukan senyum yang
sepenuhnya lega, setidaknya satu dari seratus hal tentang Rando bisa membuatnya
lega.
***
Hari itu Alana sudah bisa kembali pulang
ke rumahnya. Sejak itu pula Lestari memutuskan menghentikan karirnya. Ia lebih
memilih menggantikan bertahun-tahun ketidakadaannya disamping Alana mulai detik
itu. Semuanya memang berubah, ada yang lebih baik, namun beberapa hal tetap
begitu.
“Alana...” panggil Lestari.
“Ibu, ini masih pagi...” Alana
membalikan badannya.
“Ibu punya kabar gembira.”
“Nenek mau kemari? Theo James datang ke
Indonesia? Atau apa?” tanya Alana sambil mengulat.
“Bukaaann... Ayo, bangun dahulu!” tarik
Lestari. Alana berusaha duduk dengan baik. Matanya masih terpejam.
“Rando,...” baru nama itu disebut, mata
Alana langsung terbuka lebar.
“Rando kenapa Bu? Dia sembuh? Kembali ke
Indonesia?”
“Bukaann... Malam ini Rando akan terbang
ke Amerika, ia akan sampai di bandara pukul delapan malam. Penerbangan pukul
sepuluh.” kata Lestari.
“Ibu sungguh-sungguh?” Alana
mengernyitkan dahinya. “Tentuu...” jawab Lestari.
Alana segera bangkit dari ranjangnya dan
berjalan menuju kamar mandi sambil bersenandung. Lestari tersenyum melihat anak
tunggalnya itu. Rasanya Alana menemukan kebahagiaanya walau hanya beberapa saat
itu.
***
Jangan dibaca sebelum kau sampai di
Amerika dan dalam keadaan sehat! - Alana
|
Hallo
Rando,
Saat
kau membaca surat ini, kau pasti sudah di Amerika. Jika belum, kau tidak
membaca tulisan pada amplopnya. Kau hanya boleh membacanya ketika kau sadar
ya, jika kepalamu sakit atau pusing, bacanya nanti saja.
Saat
ini aku sangat merindukanmu. Ada beberapa hal yang membuat aku berharap kau
ada disini. Mungkin kau tidak mengerti bagaimana itu terjadi. Aku pun
begitu. Aku tak berharap jawaban baiknya. Karena jawaban itu tak akan
diiringi kebahagiaan jika kau tidak disini.
Terlalu
banyak basa-basi. Jadi begini, jangan tertawa ya... Aku sebenarnya jatuh
cinta padamu. Aku hanya ingin menyampaikan. Setidaknya membuat aku tenang.
Ya
sudah, baik-baik kau disana. Lekas sembuh dan kembali ke Indonesia. Jangan
buat penantianku ini sia-sia. Aku menyayangimu atas nama cinta, kasih dan
harapan.
Salam sayang,
Alana
|
Alana melipat kertas itu sampai muat
untuk masuk ke dalam amplop. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Ia menengok ke arah kalender, dua minggu lagi kuliah akan dimulai.
Tak ada yang berbeda secara kelihatan. Namun banyak hal yang berbeda jika
dilihat secara sikap. Alana menjadi lebih pendiam dan tak seceria dahulu.
Sepanjang siang ia menggeledah seluruh
lemari untuk menemukan pakaian yang tepat untuk ia kenakan. Mulai dari dress
bermotiv bunga mawar, celana pendek berwarna hitam, putih, tosca, kaos
bergambar menara Eiffel sampai motif bergaris. Kamarnya sangat berantakan.
Sampai Alana menemukan sebuah pakaian yang akan ia kenakan. Sebuah sweater pink
pastel yang berbulu, dengan sebuah collar dibagian lehernya. Serta bawahan
berupa celana panjang berwarna coklat muda.
Belum selesai disitu, ia mengeluarkan
semua sepatunya. Mulai dari high-heels, sepatu skech, wedges, sampai sandal
jepit. Namun pilihannya jatuh pada sebuah sepatu wedges rata berwarna krem
kepink-pink-an. Satu hal lagi yang belum selesai. Namun Alana tak begitu jago
dalam hal ini. Menata rambut.
Jam sudah menunjukan pukul 16.00WIB.
Namun, Alana masih sibuk dengan rambutnya.
“Alana, kau sudah mandi sore?” suara Ibu
terdengar. Ibu pun membuka pintu.
“Hehehe...” Alana tersenyum sambil
memegang rambutnya.
“Kamarmu sangat berantakan.” Lestari
terkesima melihat kamar Alana.
“Ibu, bantu aku menata rambut...” kata
Alana dengan manja.
Lestari mulai menyisir rambut Alana.
“Rasanya Ibu belum pernah sebahagia ini.” kata Lestari. Setengah rambut Alana
diikat dan diberi pita kecil. Dan setengah kebawah terurai indah. “Terima
kasih, Bu.” ucap Alana sambil mencium Lestari. “Lekas mandi...” ujar Lestari.
“Andai aku melakukan ini sedari dahulu
mungkin akan sangat indah. Namun, jalan-Nya memang berbeda.” gumam Lestari
dalam hatinya.
***
“Ayah, jadi ditugaskan di Bandung?”
“Iya, Bu... Malah malam ini Ayah harus
kesana.”
“Jadi, Ayah tak pulang?”
“Ayah mau ambil baju dulu. Ibu tolong
siapkan ya?”
“Pasti Ayah...”
“Terima.....” belum selesai kalimat
terucap, terdengar suara benturan keras.
“Ayah, ayah kenapa? Ayaahhh...” Lestari
kebingungan. Ia segera mematikan telepon dan memanggil Alana untuk bergegas
mencari Yenan.
Alana yang baru selesai mandi terkejut,
sampai-sampai ia lupa saat itu sudah tiga jam sebelum kedatangan Rando ke
bandara. Dengan dandanan seadanya ia dan Lestari segera menyusuri jalan yang
biasanya dilewati Yenan jika pulang dari kantor.
Sudah dua jam mereka bolak-balik. Namun
sama sekali tak ada. Terdengar suara handphone berdering. “Lestari, Ibu dengar
Yenan kecelakaan?” tanya Lavina, Neneknya Alana. “Iya, Bu... Ini Lestari sama
Alana lagi cari Mas Yenan.” kata Lestari. “Tadi Ibu dapat kabar tentang rumah
sakitnya. Ibu SMS sekarang ya...” ujar Lavina. Telepon segera dimatikan. Tidak
lama telepon genggam itu berbunyi ada pesan singkat masuk.
***
Pagi itu hujan turun perlahan. Hanya
titik-titik kecil yang menyetuh kaca. Namun, pagi itu Alana benar-benar sedang
merasa putus asa. Rasanya memang tidak seharusnya Alana melewatkan saat itu.
Namun, menentukan pilihan dalam waktu singkat itu sulit. Ternyata hujan bukan
hanya turun pada langit pagi itu, mata Alana pun mulai meneteskan air. Isi
kepalanya hanya kata-kata penyesalan.
“Ketika aku
didalam diriku,
aku benar-benar kecewa. Kecewa karena tak bisa melihat Rando untuk terakhir kalinya sampai pertemuan yang entah kapan. Pertemuan yang hanya memiliki kemungkinan satu banding satu juta. Rasa kecewa itu benar-benar hinggap, sampai aku tak mengerti bagaimana cara menghentikannya.
aku benar-benar kecewa. Kecewa karena tak bisa melihat Rando untuk terakhir kalinya sampai pertemuan yang entah kapan. Pertemuan yang hanya memiliki kemungkinan satu banding satu juta. Rasa kecewa itu benar-benar hinggap, sampai aku tak mengerti bagaimana cara menghentikannya.
Jika aku
berbicara dengan egoku,
Harusnya malam itu aku tak menjaga Ayah. Harusnya aku menerima tawaran Ibu untuk pergi ke Bandara. Bisa bertemu Rando walau pertemuan itu hanya sanggup memuaskan hasratku untuk memandang wajahnya.
Harusnya malam itu aku tak menjaga Ayah. Harusnya aku menerima tawaran Ibu untuk pergi ke Bandara. Bisa bertemu Rando walau pertemuan itu hanya sanggup memuaskan hasratku untuk memandang wajahnya.
Jika aku menjauh
dari egoku dan menjadi netral antara diriku sendiri dan sisi positive-ku.
Harusnya aku masih bisa bersyukur, tidak kehilangan Ayah. Lagi pula, Rando pasti mengerti. Aku hanya butuh waktu untuk mulai melupakan kekecewaan ini. Tak akan memakan waktu lama.”
Harusnya aku masih bisa bersyukur, tidak kehilangan Ayah. Lagi pula, Rando pasti mengerti. Aku hanya butuh waktu untuk mulai melupakan kekecewaan ini. Tak akan memakan waktu lama.”
Lalu Alana melipat kertas itu.
Memasukkannya ke dalam laci dan ia kunci. Bukan hanya kertas itu yang ada
didalamnya, ada pula kertas-kertas yang ia tulis sepuluh tahun lalu. Ketika
tulisannya masih belum menyerupai huruf.
“Alana, Ibu pulang!” sambut Lestari.
Alana segera keluar dari kamarnya. “Kau tak membeli buku tulis? Atau apa?”
tanya Lestari. “Maksud Ibu?” tanya Alana yang tak mengerti. “Kau lupa, beberapa
hari lagi kuliahmu akan dimulai?” ujar Lestari dengan sedikit nada tinggi.
“Mungkin... Sore ini.” kata Alana sambil tersenyum. “Sore nanti, Ibu harus
kembali ke rumah sakit.” kata Lestari. “Ya sudah, biar Alana sendiri saja.”
ujar Alana sambil berlalu.
Alana kembali ke kamarnya. Surat yang
kemarin ditulisnya masih ia letakan di meja belajar. Alana bingung bagaimana
cara menyampaikan surat itu pada Rando. Alana mulai merasa bodoh saat ia
mengingat alamat yang pernah Ibunya berikan. Ia pun segera bergegas mencari
alamat itu dan mulai menuliskannya.
Hallo
Alana,
Ini Tante Susan. Tak ada perkembangan
berarti tentang Rando. Tenang saja, Tante akan menyimpan surat itu sampai
Rando sembuh nanti. Terimakasih ya Alana atas dukunganmu pada Rando.
Susan
|
Balasan yang sangat singkat dari Susan.
Balasan itu tak membuat Alana tenang. Beberapa rasanya khawatir. Tapi apa daya,
hanya doa yang bisa Alana sampaikan pada Tuhan. Doa yang disampaikan seorang
perempuan. Doa untuk laki-laki yang tak tahu, apa ia akan membalas cinta itu
atau tidak. Rasanya benar-benar tidak karuan. Sedih, kecewa, takut dan bingung.
Namun, semua perasaan itu hanya bisa ia ekspresikan dengan menghela nafas
panjang. Rasanya benar-benar seperti berjalan diatas sebuah bambu yang tak ada
ujungnya. Tak ada kepastian kapan akan berakhir.
***
Hallo
Rando,
Bagaimana
kabarmu dibulan Januari ini? Sudah 6 bulan loh kita saling mengenal. Aku
yakin kau sekarang sudah sehat. Sudah bisa tersenyum, tertawa bahkan
bercanda seperti yang kau lakukan dahulu. Namun, jika semua itu belum
terwujud, aku berharap kau akan mewujudkannya untukku.
Lama
sekali kau tak membalas suratku. Doakan aku ya, semoga tahun ini bisa
lulus. Aku juga akan mendoakan kesembuhanmu. Dan kita akan berjumpa disana.
Tolong tunggu aku!
Salam kangen,
Alana
|
Happy
March Rando,
Aku
lagi bahagia nih! Kata dosenku, kemungkinan lulusku sangat besar tahun ini.
Kamu kangen nggak sama aku? Ayo, kamu semangat ya berobatnya. Jangan sampai
aku datang kesana hanya menjenguk orang sakit. Aku ingin berjalan-jalan
dengan orang sakit itu. Hihihi...
Salam sayang,
Alana
|
Holla
Rando Ferviciustin,
Namamu
sulit juga ya?! Aku menemukannya di salah satu bukumu. Iya, aku masuk ke
kamarmu. Saat itu, aku hanya merindukanmu.
Kau
tau tak bertapa lelahnya menanti sesuatu yang tak pasti? Itu aku, orang
yang tetap menantimu. Jika kau tak bisa menerima cintaku... Setidaknya
berjuanglah untuk pertemuan kita sebagai sabahat.
Salam dari aku lebih dari sangat
merindukanmu,
Alana
|
Susan menghela nafas. Ia tak tahu lagi
harus berkata apa pada Alana. Sudah dua tahun setengah belakangan ini, surat
terus masuk. Bahkan surat yang pertama kali Alana kirim saja belum dibaca oleh
Rando. Setiap surat hanya bisa diwakilkan dengan air mata. Melihat keadaan
anaknya yang masih berbaring. Berada diantara hidup dan mati. Hanya waktu yang
dapat menjawab apa titik yang akan Rando dapatkan.
Susan takut Alana akan menyusul dan
menelan kekecewaan. Ia juga wanita. Ia juga tahu bagaimana rasanya menanti
sesuatu yang tak pasti. Semakin lama penantian itu, semakin dalam rasa kecewa
yang Alana akan rasakan nantinya.
***
Waktu terus bergulir. Mulai dari detik
yang menjadi menit, menit yang menjadi jam, jam yang menjadi hari dan hari yang
siap bergulir menjadi minggu, bulan bahkan tahun. Matahari dan bulan pun terus
berganti. Siang dan malam saling bertukar tugas untuk menemani manusia di dunia
ini.
Walau bulan dan matahari terus menemani,
Alana masih merasa kosong. Diantara buku-buku tebal yang menjadi makan malamnya,
Alana hanya bisa menarik dan menghembuskan nafasnya. Malam itu terdapat rasa
rindu dan tak tenang di hati Alana. Menjelang beberapa hari sebelum Ujian
Akhir, rasanya ada sesuatu yang minta diperhatikan oleh Alana. Sesuatu yang
luput dari pandangan.
Alana merasa keadaannya tak baik malam
itu. Nama Rando terus memenuhi otaknya. Entah apa maksudnya. Rasanya seperti
jatuh cinta, namun tak ada rasa bahagia didalamnya. Seperti firasat. Tapi
dirasat apa?
***
“No!
No! You are insane! That’s impossible!” teriak Susan. Hanya dengan bantuan
sang suami ia dapat berdiri. Kakinya terasa melemas tiba-tiba. Air matanya
mengalir deras. Tak sedetikpun air mata terhenti. Benar-benar tak ia duga
semuanya akan terjadi. Akan terlalu banyak penyesalan yang terjadi setelah ini.
Dirta memeluk istrinya itu. Hatinya juga
hancur. Ayah mana yang tak sedih melihat anak sematawayangnya kini tak
bernyawa. Tuhan pernah memberikannya hidup kedua, namun mengapa tidak dengan
Rando.
“Ibu, Ibu harus tenang...” ujar Dirta.
“Bagaimana Ibu bisa tenang? Ayah tahu?
Dia yang terkapar tak bernyawa disana adalah bayi yang pernah aku lahirkan.
Bayi yang pernah aku timang. Bayi yang sudah aku persiapkan sejuta harapan
untuknya.”
“Ayah mengerti. Rando juga anak Ayah.
Tapi, bukan hal bijak menahan ia yang akan pergi dengan kesedihan. Bukankah Ibu
selalu menanti titiknya? Ini titiknya. Jika Ibu siap dengan semua hal baik, Ibu
tidak boleh melupakan hal buruknya.”
“Tapi Ayah...” Susan menghentikan
kalimatnya. Sesungukannya pun belum usai. “Bagaimana dengan Alana?” tanya
Susan.
“Siapa Alana?”
“Perempuan yang masih menanti Rando.
Perempuan yang selalu bertanya apa kabar Rando. Perempuan yang tak patut
mendapat kekecewaan.” tangis Susan kembali pecah.
***
Tiga bulan setelah kepergian Rando,
sepucuk surat kembali datang. Alana telah menyelesaikan kuliahnya. Niatnya
sudah jelas, ingin menyusul Rando ke Amerika. Susan benar-benar bingung harus
bagaimana. Hari-harinya mulai tak tenang. Matanya terus berkaca-kaca. Banyak
prediksi yang ia buat. Mulai dari Alana akan bunuh diri sampai Alana akan.....
Sulit untuk dikatakan.
***
“Tuk... Tuk... Tuk...” suara ketukan
terdengar. Tak lama setelahnya suara yang menjadi tanda adanya kehidupan
terdengar, “Yes! Wait!”. Alana dengan seluruh senyum sumringahnya menunggu di
depan pintu.
“Good Af....” Susan terkejut ketika
melihat ia yang dibalik pintu. “...ternoon.” matanya menatap mata Alana yang
memancarkan kebahagiaan.
“Hello Aunt! Dimana Rando?” pertanyaan
terakhir didepan pintu.
***
Alana menunduk, air matanya tak
terbendung. Suara sesungukan terdengar dibalik rambut yang terurai itu. Tak
lama tetesan demi tetesan nampak membasahi jeans denim milik Alana. Tak satupun
kata-kata terlontar dari mulut Alana.
“Tuhan telah mempersiapkan yang lebih
indah darinya Alana.” ujar Susan yang memeluk Alana. “Tapi, rasanya sangat
menyakitkan.” ujar Alana. “Iya, Tante mengerti.” Susan memotong. “Tidak...”
Alana menghela nafasnya. “Tak ada yang tahu sesakit apa.” ujar Alana.
***
“Jadi, mungkin
memang ini akhirnya. Aku harus mendaki tebing yang tak ada pemandangan indah.
Untuk menerimanya memang sulit. Tapi jika harus tetap diam didalamnya,
bagaimana dengan cinta-cinta baru lainnya? Apa mereka harus menunggu? Merasakan
juga ketidak pastian atau rasa kecewa yang teramat menyakitkan.
Aku hanya salah
satu contoh bagi yang lainnya. Jangan sampai terulang lagi bagi kalian. Bukan
maksudku mengajarkan ketidak setiaan. Belajar untuk bangkit. Memang sulit,
memaksakan hati yang terluka untuk mencintai yang lain.
Kini, aku
benar-benar Alana. Alana yang pernah tergores luka. Luka yang sangat dalam.
Namun dari luka itulah, aku Alana menjadi perempuan yang hebat. Menata cintaku
dan generasiku tanpa harus melupakan Rando. Terimakasih Rando atas perjalanan
itu. Terimakasih pula Carolus yang sudah menjadi masa depanku kini. Andai
kalian bisa bertemu, kalian harus berbincang bersama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar