Rabu, 18 Juni 2014

Hari itu, 13 Juni

Hari ini sama seperti hari-hari lainnya diantara perasaan yang tidak biasa.
Ketika itu baru aku sadar bahwa aku telah cemburu.
Ketika kamu mendekat kearahnya.
Ketika aku merasa tak lagi memiliki hak walau hanya memandangmu dari kejauhan.
Ketika itu pula aku ingat saat kau mengajakku mengobrol, saat kau tertawa karena candaanku dan saat kau memainkan gitarmu didepanku.
Apa mungkin kau tak sadar tentang sorotan mataku yang berbeda dari perempuan lainnya saat memandangmu.
Atau mungkin pandanganku yang sangat lekat itu belum membuatmu sadar bahwa perasaan itu ada.
Temanmu yang kau petik setiap hari itu sudah menunjuk kearahku yang melihat permainan gitarmu.
Bagaimana pun juga, gitarmu hanya membisu, ditambah pemiliknya yang tak juga sadar.
Tapi itu semua dulu.
Berbekal kenangan masa lalu itu, aku mulai berpikir.
Kadang aku berpikir, antara kau dan dia hanya ada sandiwara untuk membuatku cemburu.
Tapi aku sendiri merasa tak yakin akan pemikiranku itu.

Apa kau tahu bertapa aku merasa sangat bodoh?
Seharusnya aku sudah berpikir bahwa hal ini pasti terjadi.
Harusnya aku bisa menduga bahwa kau akan bahagia bersama perempuan yang bukan aku.
Cinta yang awalnya membuat sepanjang waktu adalah siang, sekarang menjadi malam yang tak ada akhirnya.
Perasaan sedih, kecewa, lelah dan perasaan buruk lainnya menjadi nyata dalam bentuk luka.
Bodohnya, aku tak pernah memikirkan tentang itu.
Perempuan bodoh ini menganggap semua perhatianmu itu pertanda bahwa kau jatuh cinta padanya.
Perempuan bodoh ini pikir bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Perempuan bodoh ini sudah tergores oleh luka tak kasat mata.
Perempuan bodoh ini merasa semakin bodoh ketika sadar, perhatian yang kau berikan sama saja dengan perhatian yang kau berikan pada perempuan lainnya.
Perempuan bodoh ini merasa semakin bodoh karena ia sendiri tak pernah tahu bagaimana perasaan laki-laki pujaannya padanya.
Perempuan bodoh ini merasa semakin bodoh ketika ia berharap bisa mengobati luka itu, tetapi yang terjadi malah luka itu semakin besar dan menganga.
Ini tak pernah aku bayangkan, melupakanmu menjadi hal paling sulit yang harus aku lakukan.
Apa mungkin suatu saat nanti kau sendiri yang akan mengobati lukaku?
Kata orang cinta itu indah, tetapi apa orang-orang itu tahu sisi rapuh cinta?

Selasa, 10 Juni 2014

Kabadian

Nafasnya yang segar memenuhi paru-paruku. Perlahan aku bangkit dengan bantuan tangannya. Senyumnya yang tak terlalu sumringah tetapi sangat manis. Tempat itu memang terlalu licin untuk aku yang baru mempelajari ice skating. 
"Mau aku ajarkan nona?" pertanyaan itu, pertanyaan yang tak pernah bisa aku tolak. Sepertinya kau saat itu telah menghipnotisku. Kau bukan saja memasuki pikiranku tetapi juga hatiku.
Kau mengajarkanmu dengan sabarmu, membantuku dengan yakinmu dan setiap tatapanmu itu bak sebuah permintaan untuk aku tetap tinggal denganmu saat itu.
Tak semua orang melihat cinta kita itu indah. Beberapa dari mereka berpikir kita tak berjodoh hanya karna kau yang seorang petugas ice skating dan aku... seorang anak pengusaha. Tetapi mereka tak pernah tau apa kisah yang pernah kita jalani.
Beribu-ribu kali aku meyakinimu dan beribu-ribu kali pula kau masih bertanya padaku, "Apa kau yakin?". Mana mungkin aku tak yakin pada laki-laki yang beberapa bulan lagi akan menikahiku?

Kisah-kisah masa itu tak pernah aku lupakan. Jangan anggap aku bersedih jika aku menangis. Jangan juga anggap aku bahagia jika aku tertawa. Karena semuanya bisa saja terbalik. Bisa saja aku tertawa dalam tangisku.
     Namun, senja ini telah tiba, tak pantas aku untuk menangis karenamu. Kita sudah bersatu di dunia ini. Tetapi sayangnya, Yang Kuasa lebih mencintaimu. Jika kau bisa mendengarku saat ini, boleh aku meminta sesuatu? Aku berjanji ini bukan permintaan yang sulit. Aku hanya ingin kau menantiku dikeabadian. Aku ingin cinta kita abadi, walau keabadian hanyalah sebuah kata.

Sabtu, 07 Juni 2014

Not Found

BAB 1
Hujan terus mengguyur bumi yang Rose pijaki. Matanya terpejam dan wajahnya menengadah ke langit. Ia membiarkan hujan menerpa wajahnya dan membasahi tubuhnya. Pikirannya seolah melayang membawa angannya sangat jauh.
Hanya hujan yang mengerti rasa sedihku. Hanya hujan yang membuatku terlihat baik-baik saja dibalik deraian air mata yang berpadu dengannya.
Ketika hujan berhenti, rasanya dunia ikut terhenti. Rose terdiam disana, ia masih berharap hujan akan turun saat itu. Tetapi matahari yang bersinar membuatnya tak yakin.
Ini yang paling aku tidak suka dari hujan. Ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sama seperti.......... Ah aku sudah tak ingin mengingatnya.
Rose segera masuk ke rumahnya dalam keadaan mengigil. Tak ada seorang pun didalamnya. Ayah dan Ibunya sedang tugas di luar negri. Segera ia membersihkan diri dan menyantap sarapannyaselembar roti berselai coklat dan susu hangat. Sembari menyantap sarapannya, ia kembali mereka-reka pikirannya. Tentang kejadian beberapa hari lalu.
"Rose, aku ingin mengatakan sesuatu." Hosea tiba-tiba datang dan mengejutkan Rose dari lamunannya.
"Ada apa Hosea?" tanya Rose.
"Apa mungkin kaumku dan kaummu bisa bersatu?" tanya Hosea. Sejak kecil, Rose memang terlahir berbeda dengan anak-anak lainnya. Rose dapat melihat mereka yang kasat mata.
"Apa maksudmu?" Rose berharap apa yang ia pikirkan hanya pemikirannya dan tidak akan menjadi kenyataan.
"Aku selama ini...." Rose menatap Hosea dengan sejuta pertanyaan dan sejuta harapan bahwa apa yang ia pikirkan tak akan terjadi. "Aku jatuh cinta padamu." benar saja apa yang diduga Rose.
"Tapi mana mungkin. Maksudku kita berbeda. Aku tak pernah menganggapmu lebih dari seorang teman." jelas Rose.
"Pada akhirnya kau akan sama sepertiku." pernyataan itu membuat Rose merasa takut dan kesal. Aku harap aku tak akan pernah menjadi sepertimu, aku harap aku akan sampai pada tujuan sebenarnya, tujuan sebenarnya setiap orang yang telah tiada, gumam Rose dalam hati.
"Tetap saja, aku tak bisa menerima perasaanmu."
"Kau bisa belajar mencintaiku."
"Tidak, tidak bisa," Rose berjalan mundur ketika Hosea mulai mendekat. Sepertinya malam itu Hosea ingin menghabisi nyawanya. Rose sangat ketakutan, sampai tubuhnya menabrak dinding, tak bisa lagi ia mengelak dari Hosea.
Tiba-tiba sesosok lelaki mendorong Hosea ke sebelah kiri Rose. Mungkin makhluk yang sama dengan Hosea. Ia seperti mengancam Hosea, tak lama Hosea pergi. Laki-laki itu membelakangi Rose.
"Hei, siapa kau?" tanya Rose. Rasa-rasanya Rose pernah melihatnya.
"Apa kau yakin ingin mengetahui siapa aku?" tanya laki-laki itu. Suara itu, batin Rose mengema. Tak lama laki-laki itu membalikkan badannya. Seketika itu tulang-tulang Rose serasa melemas. Ia teduduk dilantai kamarnya. Tangis yang selama ini hanya ia tahan, pecah seketika itu juga. Air mata mengalir deras dan mulutnya tak sanggup berkata-kata.
"Boleh tinggalkan aku sendiri." pinta Rose.
"Maaf jika kedatanganmu hanya membuatmu menangis," laki-laki itu pergi.
Semuanya sudah sia-sia, sangat sia-sia. Semua usahaku untuk melupakanmu sangat amat tak berguna. Aku pikir semua sudah aku kubur dalam-dalam. Ternyata aku tak memahami diriku sendiri. Selama ini perasaan itu masih ada. Semuanya mencuat kepermukaan seketika itu jugasaat kau menampakkan dirimu didepan mataku.
Mengapa baru sekarang kau datang? Duka itu sudah berlalu satu tahun lalu. Selama satu tahun itu juga aku berusaha melupakanmu juga dan hari ini, aku merasa satu tahun itu sia-sia. Perasaanku masih sama seperti dahulu. Mencintaimu teramat sangat.


BAB 2
Pagi itu sinar matahari menyelinap masuk dari celah-celah tirai yang tak tertutup rapat. Rose mencoba membuka matanya. Lalu ia menghela nafas dalam-dalam seolah ada sebuah beban yang masih mengganggu otaknya.
Setelah mandi dan menyantap sarapannya, ia memilih pergi kesebuah tempat yang selalu ia kunjungi saat ia sedang kalut. Hanya tempat ini yang mau nemenaniku kapanpun aku membutuhkannya, ia juga tak pernah marah jika aku melupakannya dan kembali dalam keadaan kalut seperti ini, gumam Rose.
Kau yang berlalu lalang didepanku, membawaku pada kenangan masa itu.Kau juga yang membuatku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Tapi sayangnya, saat ini aku sadar bahwa perasaan ini belum berpindah sama sekali. Bahkan perasaan ini menyimpan cinta pada dua orang yang ada pada masa lalu dan yang membantukku kembali dari masa lalu itu.
Andai kau tahu, semua yang kau lakukan membawaku pada sebuah harapan yang kau mulai lunturkan belakangan ini. Ketika kau memilih untuk jatuh cinta pada perempuan itu. Aku pikir selama ini kau memiliki perasaan yang sama denganku. Ternyata itu hanya aku yang mengganggapnya berlebihan.
Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Rose. Seketika itu juga, Rose segera membalikkan kertas yang ia tulis. "Darimana kau tau tempat ini? Untuk apa kau kesini? Membuatku semakin sulit melupakanmu?" tanya Rose yang nampak kesal. Arthur tertunduk, "Maaf.... tapi aku tak bisa melupakan semuanya semudah itu. Termasuk melupakanmu."
"Aku juga," Rose mulai mengakuinya. "....yang aku mau hanya kembali pada kehidupanku sebelum kau datang. Membuka hati pada semua laki-laki."
"Bukankah kau sudah melakukannya?"
"Tetapi karena kedatanganmu semuanya hancur berantakan. Sekarang aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan. Aku tak tahu siapa yang aku cintai, Jonathan atau....." rasanya akan sangat berat bagi Rose untuk mengakuinya. ".....kau." kata itu akhirnya terucap.
Satu sisi, aku sangat merindukanmu, tetapi pada sisi lainnya, aku hancur jika melihat air matamu menetes--apalagi aku penyebabnya, gumam Arthur dalam hatinya. Bukan hanya kali itu Arthur melihat Rose menangis. Beberapa kali ia melihat Rose menangis saat ia diam-diam mengunjungi gadis itu. Namun, ini pertama kalinya ia melihat Rose menangis didepannya. Akhirnya Arthur memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan Rose.
Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau tak memikirkan luka yang kau goreskan. Kau membuat luka yang pernah Jonathan goreskan semakin menganga. Pada nyatanya, luka yang tak terlihat itu lebih menyakitkan daripada luka yang berbekas dikulit.
Pagi itu koridor sekolah masih sangat sunyi. Bahkan decitan sepatu bisa bergema dengan leluasa. Lagi-lagi Rose sebagai pendatang pertama. Padahal jam sudah menunjukan pukul 06.30, tetapi ruangan itu hanya ada Rose dan dirinya. Belakangan ini, murid-murid semakin malas ke sekolah terlalu pagi. Begitulah yang terjadi jika ujian sudah berakhir.
Rose mulai mengeluarkan novel yang ia mulai baca seminggu lalu. Perlahan Rose mambukanya, tiba-tiba suara pintu terbuka membuatnya menengokdengan harapan ia tak lagi sendirian. Ternyata lebih dari harapannya itu, Jonathan datang ke kelasnya. Saat hanya ada ia seorang.
"Rose, kau sendiri? Neilan belum datang?" ujar Jonathan. Bilang saja kau hanya mencari Neilan, gumam Rose dalam hatinya.
"Iya, aku sendiri." jawab Rose yang lalu menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Jonathan yang kedua.
"Baiklah, maaf aku mengganggu."
"Ya," sebenarnya perasaan Rose sangat amat tidak terganggu. Hatinya seperti bersorak-sorai. "...kau sama sekali tidak mengganggu." lanjut Rose pelan. Seperti kalimat spontan yang terlontar tanpa diduga. Ternyata Jonathan mendengarnya.
"Boleh aku menemanimu?" tanya Jonathan. Permintaan itu membuat Rose tak bisa menolaknya dan wajahnya mulai terlihat kikuk.
"Ya, tentu boleh. Tetapi Sherin?" tanya Rose. Sherin adalah kekasih Jonathan yang selalu membuatnya iri. Ingin sekali ia berada di posisi Sherin, dicintai oleh laki-laki yang kini duduk disebelahnya itu.
"Ia tak masuk hari ini. Sebenarnya aku juga malas, tetapi.... Ah lupakan! Semua siswa malas jika harus masuk sekolah setelah ujian bukan?"
"Iya..." Rose membenarkan kalimat Jonathan tadi.
"Kau sedang apa?" tanya Jonathan.
"Membaca novel." jawab Rose dengan wajah datarnya.
"Boleh aku berkata sesuatu?"
"Tentang apa? Tentu boleh, itu hakmu."
"Sebenarnya selama ini aku...."
"Rose," Arthur memanggil Rose yang dari tadi melamun dikelas itu.
"Astaga!" Rose terkejut.
"Jadi tadi itu hanya..... Kau! Untuk apa kau disini?" suara yang Rose keluarkan cukup membuat beberapa murid dikelas itu menengok ke arahnya. "Maaf," ujar Rose sambil keluar dari kelas itu dan menuju lantai emapat yang jarang didatangi orang pada saat-saat itu.
"Jadi apa tujuanmu?" tanpa basa-basi Rose bertanya.
"Tak. Lamunanmu adalah salah satu fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap."
"Apa maksudmu?" Rose penasaran.
"Tak, lupakan. Kau tidak suka bukan melihatku? Baiklah, aku akan pergi." Arthur berlalu menembus dinding-dinding beton.


BAB 3
Akhirnya setelah mempertahankan diri untuk tetap masuk sekolah, hari itu Rose memilih tak pergi ke sekolah. Seperti bolos hanya dengan alasan yang lebih kompleks dari pada sakit batuk, pilek atau demam. Tetapi tak semenyeramkan kanker atau sejenisnya. Ini lebih bersangkutan kepada perasaannya yang masih kalut.
Rose tidak sadar, keberadaannya di taman pagi itu sedang dimata-matai. Bukan dimata-matai oleh mafia atau polisi yang mencari buronan, tetapi oleh dua laki-laki yang membuat perasaannya kalut. 
Mungkin membiarkan Rose bahagia akan lebih baik. Mungkin aku memang tak seharusnya lagi menemui dia. Mungkin Jonathan memang lebih pantas baginya. Mungkin dengan bersama Jonathan ia akan lebih bahagia. Diantara semua kemungkinan itu, yang pasti adalah aku harus benar-benar pergi dari hidupnya dan melupakannya. gumam Arthur yang menatap Rose dari kejauhan.
Entah apa tujuan datangnya perasaan ini. Kadang aku hanya ingin bertanya, apa perasaan ini terbalaskan? Aku terlalu pengecut untuk menyatakannya pada perempuan itu. Aku takut cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan yang akhirnya membuatku merasa terhempas jauh. Lagi pula mana mungkin aku menyatakan cinta pada Rose ketika aku masih menjalin hubungan dengan Sherin? gumam Jonathan yang menandang Rose dari sudut lainnya.
Ketika matahari meminta bulan menggantikannya dikala senja datang, nyatanya matahari tak benar-benar meninggalkan bulan. Ia justu membantu bulan untuk bercahaya tanpa pamrih. Walaupun bulan lebih sering dikatakan indah dibanding matahari.
Setelah menulis kalimat itu, Rose melipat kertas itu lalu kembali memandang senja yang hadir dengan keindahannya. "Saat inilah keberadaan matahari akan dipuji. Karenanya senja jadi nampak sangat indah. Matahari rela walau saat itu ia harus tenggelam dan dianggap tak ada setelahnya," ucap Rose.
Taman itu memang berbeda, sinar senjanya sangat indah. Taman itu juga tempat dimana Arthur menyatakan cinta padanya. Taman itu pula yang membuat Rose yakin bahwa Jonathan sudah tak akan lagi ia miliki. Namun, yang lebih menyakitkan didepan taman itu—jalan raya—adalah tempat Arthur menghembuskan nafasnya yang terkahir.
Secara spontan memori-memori itu kembali mengitari otaknya. Tak semua hal dari memori itu buruk dan tak semuanya baik. Tetapi begitulah manusia, lebih suka merenungkan memori buruk dan membiarkannya tinggal dibanding mengingat bertapa beruntungnya ia.


BAB 4
Seketika itu juga, suasana nampak gelap dang dingin. Semuanya terjadi setelah sebuah cahaya menyilaukan menabrak kearah Rose. Seketika itu juga semuanya nampak berbeda. Yang lebih buruk lagi, aku bisa melihat diriku sendiri yang bersimbah darah dan banyak orang yang mengelilingiku.
"Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini?" tak ada seorang pun disana yang menjawab pertanyaan Rose. Padahal keramaian membuat siapapun yang ada disana sesak dan menarik untuk tahu yang sedang terjadi.
"Kemana kalian akan membawa tubuhku?!" pertanyaan itu sangat lantang ia teriakan ketika beberapa medis membawa tubuhnya. Yang lebih kejamnya lagi, tubuh Rose dimasukkan ke kantung mayat. "Aku belum mati!" tangis Rose pecah. Ia hanya bisa terduduk beralaskan aspal dan beratapkan langit. Semuanya bak mimpi buruk.
Tiba-tiba terbesit dalam benaknya, Arthur. Mungkin ini jawabannya, ia dan Arthur akan bersatu selamanya. Ia segera bangkit dan mencari Arthur. Namun, sejauh kaki melangkah dan selama apapun mata memandang, tak sama sekali ia temukan Arthur.
Sang fajar kembali datang, pasti ia lelah menemani bulan semalaman. Tetapi ia tak mengeluh, ia tetap bersinar dengan cerah. Kadang aku ingin sepertinya. Menjadi cerah walau gelap memaksanya untuk pergi.
Makamnya masih basah akibat guyuran hujan. Rose tak tahu lagi harus mencari Arthur kemana, ia putuskan untuk menunggunya disanadimakamnya.
Tak lama, dari kejauhan ia melihat seseorang yang nampaknya tak asing. Ternyata Jonathan. Ditangannya terdapat seikat bunga mawar putih yang sangat indah. Semakin lama Jonathan semakin mendekat dan akhirnya benar-benar ada didepan makan Rose. Tepat didepan Rose yang menyadari kedatangannya.
"Andai kau tahu bahwa aku mencintaimu, tapi aku sadar bertapa pengecutnya aku. Mungkin karena itu aku tak pantas untukmu." kalimat itu membuat Rose kaget bahkan ternganga.
Akhirnya tak satupun cinta yang bisa aku temukan. Selama ini tak pernah aku temukan Arthur, tak pernah sekalipun. Justru Jonathan yang menyatakan perasaannya. Tetapi, aku dan Jonathan tak mungkin bersatu lagi. Semuanya ini seperti keterlanjuran yang menyakitkan. 
Sekarang aku mengerti apa maksudmu Arthur, tentang kalimat 'Lamunanmu adalah salah satu fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap'Saat itu kau sudah tahu bahwa Jonathan jatuh cinta padamu. Mungkin itu sebabnya kau tak pernah lagi menemuiku.
Aku persembahkan kisahku ini pada Arthur yang entah dimana saat ini dan Jonathan, apa kau masih menyimpan perasaan itu?

Along Time Ago

Untuk kesekian kalinya, tamparan itu ia terima. Tak lama air matanya menetes. Ingin rasanya tangis itu pecah, tetapi sayang, hanya isakkan tipis yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Usianya baru menginjak lima tahun. Tetapi hidupnya berbeda dengan anak berusia lima tahun lainnya. Tak ada mainan baru atau jalan-jalan bersama orang tuanya.
Semuanya memang berbeda setelah kedatangan Annabelle, ibu tirinya. Hari-hari Ilsa tak lagi bahagia seperti ketika hanya ada ia dan Ayahnya. Mungkin Ayahnya pikir dengan keberadaan Annabelle, Ilsa akan semaki bahagia. Tetapi semuanya salah.
Nailsa Qinan Rivas, anak dari pasangan Robert dan Kinan. Sayangnya, cinta yang hadir diantara Kinan dan Robert adalah cinta yang salah. Tak seorangpun dari Netherland yang boleh menikahi orang Pribumi. Tetapi Robert yakin bahwa Kinan adalah pilihan terbaiknya. Sayang, Kinan harus meregang nyawa ketika melahirkan Ilsa. Sejak itu Robert berjanji akan menjaga Ilsa sepenuh hati dan jiwanya. Tak akan sedetikpun ia membiarkan Ilsa bersedih.
Pada mulanya Robert menepati janjinya itu, termasuk menikahi Annabelle adalah salah satu caranya. Pernikahan Annabelle dan Robert membuahkan seorang anak lelaki yang dinamai Fernando Emanuel Rivas. Sepi yang Ilsa rasakan semakin mendalam ketika Fernan hadir di keluarga itu. Sejak itu, Robert seperti lupa akan janjinya dahulu. Bahkan Robert lupa bahwa ia memiliki seorang anak perempuan. Tak sekalipun Robert masuk ke kamar Ilsa.
Annabelle pernah berkata sesuatu pada Ilsa, kata-kata yang tak pernah Ilsa percaya sedikitpun. Tetapi sejak hilangnya kasih sayang sang Ayah, Ilsa mulai mempercayainya. Ilsa percaya bahwa kelahirannya tak pernah diinginkan. Bahkan mungkin hanya sebuah ketidaksengajaan. Karena sampai kapanpun, tak ada seorang pribumi yang boleh mencintai seorang bangsawan Netherland dan begitu pula sebaliknya.
Annabelle juga selalu melarang Ilsa untuk bertemu dengan Ayahnya. "Sampai kapanpun kau akan tetap berbeda dengan kami." begitu kata Annabelle. Apa salahku jika darah pribumi mengalir dalam tubuh ini? hanya kalimat itu yang selalu ada didalam batin Ilsa. Bahkan Ilsa belum pernah memeluk Fernan, adik laki-lakinya. Rasanya akan tak mungkin, pasti Annabelle sudah membuat Fernan membenciku atau mungkin menganggapku tak ada, itu yang selalu Ilsa katakan pada dirinya sendiri jika ia ingin sekali memeluk Fernan.
Y
Bukan hanya malam itu kabar tentang kedatangan Jepang sangat hangat di telinga. Annabelle dan Ayah nampak berdebat dalam bahasa Netherland. Bahasa yang tak pernah aku mengerti dan Ayah tak pernah mengajarkannya padaku. Semuanya seperti sangat genting. Tetapi apa yang aku bisa lakukan? Kunci kamarku tak bisa berjalan sendiri dan membuka pintu ini, gumam Ilsa dalam hatiny. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur.
Tepat tengah malam,terdengar suara berisik diluar. Tak lama suara pintu tertutup lalu semuanya hening. Beberapa menit Ilsa terdiam, menanti suara apa yang akan ia dengar. Sampai beberapa saat kemudian ia baru menyadari bahwa Ayahnya meninggalkannya di rumah itu sendirian.
Sejak itu, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan diluar kamarku. Ayah tak pernah kembali. Ilsa merasa sangat sedih, kesedihan itu menyesakan dadanya. Tak terbayang olehnya, pria yang ia cintai selama hidupnya kini bukan hanya melupakannya, tetapi juga pergi meninggalkannya.
Malam kedua kepergian Ayah yang entah dimana, suara langkah kaki terdengar. Itu Ayah, gumam Ilsa. "Ayah, Ayah, kau kembali untukku? Ayah, aku disinu." Ilsa memberi petunjuk. Tak lama, seseorang mendobrak pintu kamarnya. Ternyata itu bukan Ayahnya. Pria-pria bermata sipit itu menodongkan senapannya pada Ilsa. Setelahnya, Ilsa merasa jiwanya melayang entah kemana. Semuanya gelap dan menyakitkan.
Y
Ilsa adalah aku. Ilsa terlahir kembali sebagai seorang Nadine. Semua orang yang ada di dunia ini adalah seorang reinkanator, hanya mereka lupa dengan masa lalunya, sama seperti aku. Tetapi bodohnya, aku malah menggali semua itu. Menggali kisah yang seharusnya tak pernah aku ketahui, aku mengerti mengapa Sang Pencipta melakukannya. Ia hanya ingin aku tak bersedih karena masa lalu itu
.
Aku tak bersedih karenanya, aku hanya baru menyadari bahwa itu adalah takdirku.
Hidupku yang sekarang memang tak seburuk dahulu.
Namun, jalan ceritanya nyaris sama.
Aku bersedih karena aku menyadari aku dan Ilsa mempunyai satu takdir yang sama.
Takdir untuk merasakan sepi yang tak ada akhirnya.
Aku sadar, jiwa ini tak pernah akan keluar dari lingkaran sepi itu.
Sampai kapanpun itu, hidup keberapapun itu, semuanya akan tetap sama.
Memang seharusnya ini bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. 
Kadang, aku hanya butuh seseoranguntuk mendengarkan apa yang aku rasakan.

Selain selembar kertas yang aku tulis tiap harinya.