BAB 1
Hujan terus mengguyur bumi yang Rose
pijaki. Matanya terpejam dan wajahnya menengadah ke langit. Ia membiarkan hujan
menerpa wajahnya dan membasahi tubuhnya. Pikirannya seolah melayang membawa
angannya sangat jauh.
Hanya hujan yang
mengerti rasa sedihku. Hanya hujan yang membuatku terlihat baik-baik saja
dibalik deraian air mata yang berpadu dengannya.
Ketika hujan berhenti, rasanya dunia ikut
terhenti. Rose terdiam disana, ia masih berharap hujan akan turun saat itu.
Tetapi matahari yang bersinar membuatnya tak yakin.
Ini yang paling aku tidak
suka dari hujan. Ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sama
seperti.......... Ah aku sudah tak ingin mengingatnya.
Rose segera masuk ke rumahnya dalam
keadaan mengigil. Tak ada seorang pun didalamnya. Ayah dan Ibunya sedang tugas
di luar negri. Segera ia membersihkan diri dan menyantap sarapannya—selembar
roti berselai coklat dan susu hangat. Sembari menyantap sarapannya, ia kembali
mereka-reka pikirannya. Tentang kejadian beberapa hari lalu.
∞
"Rose, aku ingin mengatakan
sesuatu." Hosea tiba-tiba datang dan mengejutkan Rose dari lamunannya.
"Ada apa Hosea?" tanya Rose.
"Apa mungkin kaumku dan kaummu bisa
bersatu?" tanya Hosea. Sejak kecil, Rose memang terlahir berbeda dengan
anak-anak lainnya. Rose dapat melihat mereka yang kasat mata.
"Apa maksudmu?" Rose berharap
apa yang ia pikirkan hanya pemikirannya dan tidak akan menjadi kenyataan.
"Aku selama ini...." Rose
menatap Hosea dengan sejuta pertanyaan dan sejuta harapan bahwa apa yang ia
pikirkan tak akan terjadi. "Aku jatuh cinta padamu." benar saja apa
yang diduga Rose.
"Tapi mana mungkin. Maksudku kita
berbeda. Aku tak pernah menganggapmu lebih dari seorang teman." jelas
Rose.
"Pada akhirnya kau akan sama sepertiku."
pernyataan itu membuat Rose merasa takut dan kesal. Aku harap aku tak
akan pernah menjadi sepertimu, aku harap aku akan sampai pada tujuan
sebenarnya, tujuan sebenarnya setiap orang yang telah tiada, gumam Rose
dalam hati.
"Tetap saja, aku tak bisa menerima
perasaanmu."
"Kau bisa belajar mencintaiku."
"Tidak, tidak bisa," Rose
berjalan mundur ketika Hosea mulai mendekat. Sepertinya malam itu Hosea ingin
menghabisi nyawanya. Rose sangat ketakutan, sampai tubuhnya menabrak dinding,
tak bisa lagi ia mengelak dari Hosea.
Tiba-tiba sesosok lelaki mendorong Hosea
ke sebelah kiri Rose. Mungkin makhluk yang sama dengan Hosea. Ia seperti
mengancam Hosea, tak lama Hosea pergi. Laki-laki itu membelakangi Rose.
"Hei, siapa kau?" tanya Rose.
Rasa-rasanya Rose pernah melihatnya.
"Apa kau yakin ingin mengetahui siapa
aku?" tanya laki-laki itu. Suara itu, batin Rose mengema.
Tak lama laki-laki itu membalikkan badannya. Seketika itu tulang-tulang Rose
serasa melemas. Ia teduduk dilantai kamarnya. Tangis yang selama ini hanya ia
tahan, pecah seketika itu juga. Air mata mengalir deras dan mulutnya tak
sanggup berkata-kata.
"Boleh tinggalkan aku sendiri."
pinta Rose.
"Maaf jika kedatanganmu hanya
membuatmu menangis," laki-laki itu pergi.
∞
Semuanya sudah sia-sia, sangat
sia-sia. Semua usahaku untuk melupakanmu sangat amat tak berguna. Aku pikir
semua sudah aku kubur dalam-dalam. Ternyata aku tak memahami diriku sendiri.
Selama ini perasaan itu masih ada. Semuanya mencuat kepermukaan seketika itu
juga—saat kau menampakkan dirimu didepan mataku.
Mengapa baru sekarang kau datang? Duka itu sudah berlalu satu tahun lalu.
Selama satu tahun itu juga aku berusaha melupakanmu juga dan hari ini, aku
merasa satu tahun itu sia-sia. Perasaanku masih sama seperti dahulu. Mencintaimu
teramat sangat.
BAB 2
Pagi
itu sinar matahari menyelinap masuk dari celah-celah tirai yang tak tertutup
rapat. Rose mencoba membuka matanya. Lalu ia menghela nafas dalam-dalam seolah
ada sebuah beban yang masih mengganggu otaknya.
Setelah mandi dan menyantap sarapannya, ia memilih pergi kesebuah
tempat yang selalu ia kunjungi saat ia sedang kalut. Hanya tempat ini yang mau
nemenaniku kapanpun aku membutuhkannya, ia juga tak pernah marah jika aku
melupakannya dan kembali dalam keadaan kalut seperti ini, gumam Rose.
∞
Kau yang berlalu lalang didepanku, membawaku pada
kenangan masa itu.Kau juga yang membuatku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta
padamu. Tapi sayangnya, saat ini aku sadar bahwa perasaan ini belum berpindah
sama sekali. Bahkan perasaan ini menyimpan cinta pada dua orang yang ada pada
masa lalu dan yang membantukku kembali dari masa lalu itu.
Andai kau tahu, semua yang kau lakukan membawaku pada
sebuah harapan yang kau mulai lunturkan belakangan ini. Ketika kau memilih
untuk jatuh cinta pada perempuan itu. Aku pikir selama ini kau memiliki
perasaan yang sama denganku. Ternyata itu hanya aku yang mengganggapnya
berlebihan.
Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Rose. Seketika itu
juga, Rose segera membalikkan kertas yang ia tulis. "Darimana kau tau
tempat ini? Untuk apa kau kesini? Membuatku semakin sulit melupakanmu?"
tanya Rose yang nampak kesal. Arthur tertunduk, "Maaf.... tapi aku tak
bisa melupakan semuanya semudah itu. Termasuk melupakanmu."
"Aku juga," Rose mulai mengakuinya. "....yang aku
mau hanya kembali pada kehidupanku sebelum kau datang. Membuka hati pada semua
laki-laki."
"Bukankah kau sudah melakukannya?"
"Tetapi karena kedatanganmu semuanya hancur berantakan.
Sekarang aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan. Aku tak tahu siapa yang
aku cintai, Jonathan atau....." rasanya akan sangat berat bagi Rose untuk
mengakuinya. ".....kau." kata itu akhirnya terucap.
Satu sisi, aku sangat merindukanmu, tetapi pada sisi lainnya, aku
hancur jika melihat air matamu menetes--apalagi aku penyebabnya, gumam Arthur
dalam hatinya. Bukan hanya kali itu Arthur melihat Rose menangis. Beberapa kali
ia melihat Rose menangis saat ia diam-diam mengunjungi gadis itu. Namun, ini
pertama kalinya ia melihat Rose menangis didepannya. Akhirnya Arthur memutuskan
untuk pergi tanpa sepengetahuan Rose.
Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau tak memikirkan luka yang
kau goreskan. Kau membuat luka yang pernah Jonathan goreskan semakin menganga.
Pada nyatanya, luka yang tak terlihat itu lebih menyakitkan daripada luka yang
berbekas dikulit.
∞
Pagi itu koridor sekolah masih sangat sunyi. Bahkan decitan sepatu
bisa bergema dengan leluasa. Lagi-lagi Rose sebagai pendatang pertama. Padahal
jam sudah menunjukan pukul 06.30, tetapi ruangan itu hanya ada Rose dan
dirinya. Belakangan ini, murid-murid semakin malas ke sekolah terlalu pagi.
Begitulah yang terjadi jika ujian sudah berakhir.
Rose mulai mengeluarkan novel yang ia mulai baca seminggu lalu.
Perlahan Rose mambukanya, tiba-tiba suara pintu terbuka membuatnya
menengok—dengan harapan ia tak lagi sendirian. Ternyata lebih dari harapannya
itu, Jonathan datang ke kelasnya. Saat hanya ada ia seorang.
"Rose, kau sendiri? Neilan belum datang?" ujar Jonathan.
Bilang saja kau hanya mencari Neilan, gumam Rose dalam hatinya.
"Iya, aku sendiri." jawab Rose yang lalu menggeleng
sebagai jawaban dari pertanyaan Jonathan yang kedua.
"Baiklah, maaf aku mengganggu."
"Ya," sebenarnya perasaan Rose sangat amat tidak
terganggu. Hatinya seperti bersorak-sorai. "...kau sama sekali tidak
mengganggu." lanjut Rose pelan. Seperti kalimat spontan yang terlontar
tanpa diduga. Ternyata Jonathan mendengarnya.
"Boleh aku menemanimu?" tanya Jonathan. Permintaan itu
membuat Rose tak bisa menolaknya dan wajahnya mulai terlihat kikuk.
"Ya, tentu boleh. Tetapi Sherin?" tanya Rose. Sherin
adalah kekasih Jonathan yang selalu membuatnya iri. Ingin sekali ia berada di
posisi Sherin, dicintai oleh laki-laki yang kini duduk disebelahnya itu.
"Ia tak masuk hari ini. Sebenarnya aku juga malas, tetapi....
Ah lupakan! Semua siswa malas jika harus masuk sekolah setelah ujian
bukan?"
"Iya..." Rose membenarkan kalimat Jonathan tadi.
"Kau sedang apa?" tanya Jonathan.
"Membaca novel." jawab Rose dengan wajah datarnya.
"Boleh aku berkata sesuatu?"
"Tentang
apa? Tentu boleh, itu hakmu."
"Sebenarnya selama ini aku...."
∞
"Rose,"
Arthur memanggil Rose yang dari tadi melamun dikelas itu.
"Astaga!"
Rose terkejut.
"Jadi tadi
itu hanya..... Kau! Untuk apa kau disini?" suara yang Rose keluarkan cukup
membuat beberapa murid dikelas itu menengok ke arahnya. "Maaf," ujar
Rose sambil keluar dari kelas itu dan menuju lantai emapat yang jarang didatangi
orang pada saat-saat itu.
"Jadi apa
tujuanmu?" tanpa basa-basi Rose bertanya.
"Tak. Lamunanmu adalah salah satu
fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap."
"Apa
maksudmu?" Rose penasaran.
"Tak, lupakan. Kau tidak suka bukan melihatku? Baiklah, aku akan pergi." Arthur berlalu menembus dinding-dinding beton.
BAB 3
Akhirnya setelah
mempertahankan diri untuk tetap masuk sekolah, hari itu Rose memilih tak pergi
ke sekolah. Seperti bolos hanya dengan alasan yang lebih kompleks dari pada
sakit batuk, pilek atau demam. Tetapi tak semenyeramkan kanker atau sejenisnya.
Ini lebih bersangkutan kepada perasaannya yang masih kalut.
Rose tidak sadar,
keberadaannya di taman pagi itu sedang dimata-matai. Bukan dimata-matai oleh
mafia atau polisi yang mencari buronan, tetapi oleh dua laki-laki yang membuat
perasaannya kalut.
Mungkin membiarkan Rose
bahagia akan lebih baik. Mungkin aku memang tak seharusnya lagi menemui dia.
Mungkin Jonathan memang lebih pantas baginya. Mungkin dengan bersama Jonathan
ia akan lebih bahagia. Diantara semua kemungkinan itu, yang pasti adalah aku harus
benar-benar pergi dari hidupnya dan melupakannya. gumam Arthur yang menatap
Rose dari kejauhan.
Entah apa tujuan
datangnya perasaan ini. Kadang aku hanya ingin bertanya, apa perasaan ini
terbalaskan? Aku terlalu pengecut untuk menyatakannya pada perempuan itu. Aku
takut cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan yang akhirnya membuatku merasa
terhempas jauh. Lagi pula mana mungkin aku menyatakan cinta pada Rose ketika
aku masih menjalin hubungan dengan Sherin? gumam Jonathan yang menandang Rose
dari sudut lainnya.
∞
Ketika matahari meminta bulan menggantikannya dikala senja datang,
nyatanya matahari tak benar-benar meninggalkan bulan. Ia justu membantu bulan
untuk bercahaya tanpa pamrih. Walaupun bulan lebih sering dikatakan indah
dibanding matahari.
Setelah menulis kalimat
itu, Rose melipat kertas itu lalu kembali memandang senja yang hadir dengan
keindahannya. "Saat inilah keberadaan matahari akan dipuji. Karenanya senja jadi
nampak sangat indah. Matahari rela walau saat itu ia harus tenggelam dan dianggap
tak ada setelahnya," ucap Rose.
Taman itu memang berbeda,
sinar senjanya sangat indah. Taman itu juga tempat dimana Arthur menyatakan
cinta padanya. Taman itu pula yang membuat Rose yakin bahwa Jonathan sudah tak
akan lagi ia miliki. Namun, yang lebih menyakitkan didepan taman itu—jalan raya—adalah
tempat Arthur menghembuskan nafasnya yang terkahir.
Secara spontan memori-memori itu kembali mengitari otaknya. Tak semua hal dari memori itu buruk dan tak semuanya baik. Tetapi begitulah manusia, lebih suka merenungkan memori buruk dan membiarkannya tinggal dibanding mengingat bertapa beruntungnya ia.
BAB 4
Seketika
itu juga, suasana nampak gelap dang dingin. Semuanya terjadi setelah sebuah
cahaya menyilaukan menabrak kearah Rose. Seketika itu juga semuanya nampak
berbeda. Yang lebih buruk lagi, aku bisa melihat diriku sendiri yang bersimbah
darah dan banyak orang yang mengelilingiku.
"Apa
yang terjadi? Apa maksud semua ini?" tak ada seorang pun disana yang
menjawab pertanyaan Rose. Padahal keramaian membuat siapapun yang ada disana
sesak dan menarik untuk tahu yang sedang terjadi.
"Kemana
kalian akan membawa tubuhku?!" pertanyaan itu sangat lantang ia teriakan
ketika beberapa medis membawa tubuhnya. Yang lebih kejamnya lagi, tubuh Rose
dimasukkan ke kantung mayat. "Aku belum mati!" tangis Rose pecah. Ia
hanya bisa terduduk beralaskan aspal dan beratapkan langit. Semuanya bak mimpi
buruk.
Tiba-tiba
terbesit dalam benaknya, Arthur. Mungkin ini jawabannya, ia dan Arthur akan
bersatu selamanya. Ia segera bangkit dan mencari Arthur. Namun, sejauh kaki
melangkah dan selama apapun mata memandang, tak sama sekali ia temukan Arthur.
∞
Sang fajar kembali datang, pasti ia lelah menemani bulan
semalaman. Tetapi ia tak mengeluh, ia tetap bersinar dengan cerah. Kadang aku
ingin sepertinya. Menjadi cerah walau gelap memaksanya untuk pergi.
Makamnya
masih basah akibat guyuran hujan. Rose tak tahu lagi harus mencari Arthur
kemana, ia putuskan untuk menunggunya disana—dimakamnya.
Tak
lama, dari kejauhan ia melihat seseorang yang nampaknya tak asing. Ternyata
Jonathan. Ditangannya terdapat seikat bunga mawar putih yang sangat indah.
Semakin lama Jonathan semakin mendekat dan akhirnya benar-benar ada didepan
makan Rose. Tepat didepan Rose yang menyadari kedatangannya.
"Andai
kau tahu bahwa aku mencintaimu, tapi aku sadar bertapa pengecutnya aku. Mungkin
karena itu aku tak pantas untukmu." kalimat itu membuat Rose kaget bahkan
ternganga.
Akhirnya tak satupun cinta yang bisa aku temukan. Selama ini tak pernah
aku temukan Arthur, tak pernah sekalipun. Justru Jonathan yang menyatakan
perasaannya. Tetapi, aku dan Jonathan tak mungkin bersatu lagi. Semuanya ini
seperti keterlanjuran yang menyakitkan.
Sekarang
aku mengerti apa maksudmu Arthur, tentang kalimat 'Lamunanmu adalah
salah satu fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap'. Saat itu
kau sudah tahu bahwa Jonathan jatuh cinta padamu. Mungkin itu sebabnya kau tak
pernah lagi menemuiku.
Aku persembahkan kisahku
ini pada Arthur yang entah dimana saat ini dan Jonathan, apa kau masih
menyimpan perasaan itu?