Sabtu, 07 Juni 2014

Not Found

BAB 1
Hujan terus mengguyur bumi yang Rose pijaki. Matanya terpejam dan wajahnya menengadah ke langit. Ia membiarkan hujan menerpa wajahnya dan membasahi tubuhnya. Pikirannya seolah melayang membawa angannya sangat jauh.
Hanya hujan yang mengerti rasa sedihku. Hanya hujan yang membuatku terlihat baik-baik saja dibalik deraian air mata yang berpadu dengannya.
Ketika hujan berhenti, rasanya dunia ikut terhenti. Rose terdiam disana, ia masih berharap hujan akan turun saat itu. Tetapi matahari yang bersinar membuatnya tak yakin.
Ini yang paling aku tidak suka dari hujan. Ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sama seperti.......... Ah aku sudah tak ingin mengingatnya.
Rose segera masuk ke rumahnya dalam keadaan mengigil. Tak ada seorang pun didalamnya. Ayah dan Ibunya sedang tugas di luar negri. Segera ia membersihkan diri dan menyantap sarapannyaselembar roti berselai coklat dan susu hangat. Sembari menyantap sarapannya, ia kembali mereka-reka pikirannya. Tentang kejadian beberapa hari lalu.
"Rose, aku ingin mengatakan sesuatu." Hosea tiba-tiba datang dan mengejutkan Rose dari lamunannya.
"Ada apa Hosea?" tanya Rose.
"Apa mungkin kaumku dan kaummu bisa bersatu?" tanya Hosea. Sejak kecil, Rose memang terlahir berbeda dengan anak-anak lainnya. Rose dapat melihat mereka yang kasat mata.
"Apa maksudmu?" Rose berharap apa yang ia pikirkan hanya pemikirannya dan tidak akan menjadi kenyataan.
"Aku selama ini...." Rose menatap Hosea dengan sejuta pertanyaan dan sejuta harapan bahwa apa yang ia pikirkan tak akan terjadi. "Aku jatuh cinta padamu." benar saja apa yang diduga Rose.
"Tapi mana mungkin. Maksudku kita berbeda. Aku tak pernah menganggapmu lebih dari seorang teman." jelas Rose.
"Pada akhirnya kau akan sama sepertiku." pernyataan itu membuat Rose merasa takut dan kesal. Aku harap aku tak akan pernah menjadi sepertimu, aku harap aku akan sampai pada tujuan sebenarnya, tujuan sebenarnya setiap orang yang telah tiada, gumam Rose dalam hati.
"Tetap saja, aku tak bisa menerima perasaanmu."
"Kau bisa belajar mencintaiku."
"Tidak, tidak bisa," Rose berjalan mundur ketika Hosea mulai mendekat. Sepertinya malam itu Hosea ingin menghabisi nyawanya. Rose sangat ketakutan, sampai tubuhnya menabrak dinding, tak bisa lagi ia mengelak dari Hosea.
Tiba-tiba sesosok lelaki mendorong Hosea ke sebelah kiri Rose. Mungkin makhluk yang sama dengan Hosea. Ia seperti mengancam Hosea, tak lama Hosea pergi. Laki-laki itu membelakangi Rose.
"Hei, siapa kau?" tanya Rose. Rasa-rasanya Rose pernah melihatnya.
"Apa kau yakin ingin mengetahui siapa aku?" tanya laki-laki itu. Suara itu, batin Rose mengema. Tak lama laki-laki itu membalikkan badannya. Seketika itu tulang-tulang Rose serasa melemas. Ia teduduk dilantai kamarnya. Tangis yang selama ini hanya ia tahan, pecah seketika itu juga. Air mata mengalir deras dan mulutnya tak sanggup berkata-kata.
"Boleh tinggalkan aku sendiri." pinta Rose.
"Maaf jika kedatanganmu hanya membuatmu menangis," laki-laki itu pergi.
Semuanya sudah sia-sia, sangat sia-sia. Semua usahaku untuk melupakanmu sangat amat tak berguna. Aku pikir semua sudah aku kubur dalam-dalam. Ternyata aku tak memahami diriku sendiri. Selama ini perasaan itu masih ada. Semuanya mencuat kepermukaan seketika itu jugasaat kau menampakkan dirimu didepan mataku.
Mengapa baru sekarang kau datang? Duka itu sudah berlalu satu tahun lalu. Selama satu tahun itu juga aku berusaha melupakanmu juga dan hari ini, aku merasa satu tahun itu sia-sia. Perasaanku masih sama seperti dahulu. Mencintaimu teramat sangat.


BAB 2
Pagi itu sinar matahari menyelinap masuk dari celah-celah tirai yang tak tertutup rapat. Rose mencoba membuka matanya. Lalu ia menghela nafas dalam-dalam seolah ada sebuah beban yang masih mengganggu otaknya.
Setelah mandi dan menyantap sarapannya, ia memilih pergi kesebuah tempat yang selalu ia kunjungi saat ia sedang kalut. Hanya tempat ini yang mau nemenaniku kapanpun aku membutuhkannya, ia juga tak pernah marah jika aku melupakannya dan kembali dalam keadaan kalut seperti ini, gumam Rose.
Kau yang berlalu lalang didepanku, membawaku pada kenangan masa itu.Kau juga yang membuatku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Tapi sayangnya, saat ini aku sadar bahwa perasaan ini belum berpindah sama sekali. Bahkan perasaan ini menyimpan cinta pada dua orang yang ada pada masa lalu dan yang membantukku kembali dari masa lalu itu.
Andai kau tahu, semua yang kau lakukan membawaku pada sebuah harapan yang kau mulai lunturkan belakangan ini. Ketika kau memilih untuk jatuh cinta pada perempuan itu. Aku pikir selama ini kau memiliki perasaan yang sama denganku. Ternyata itu hanya aku yang mengganggapnya berlebihan.
Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Rose. Seketika itu juga, Rose segera membalikkan kertas yang ia tulis. "Darimana kau tau tempat ini? Untuk apa kau kesini? Membuatku semakin sulit melupakanmu?" tanya Rose yang nampak kesal. Arthur tertunduk, "Maaf.... tapi aku tak bisa melupakan semuanya semudah itu. Termasuk melupakanmu."
"Aku juga," Rose mulai mengakuinya. "....yang aku mau hanya kembali pada kehidupanku sebelum kau datang. Membuka hati pada semua laki-laki."
"Bukankah kau sudah melakukannya?"
"Tetapi karena kedatanganmu semuanya hancur berantakan. Sekarang aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan. Aku tak tahu siapa yang aku cintai, Jonathan atau....." rasanya akan sangat berat bagi Rose untuk mengakuinya. ".....kau." kata itu akhirnya terucap.
Satu sisi, aku sangat merindukanmu, tetapi pada sisi lainnya, aku hancur jika melihat air matamu menetes--apalagi aku penyebabnya, gumam Arthur dalam hatinya. Bukan hanya kali itu Arthur melihat Rose menangis. Beberapa kali ia melihat Rose menangis saat ia diam-diam mengunjungi gadis itu. Namun, ini pertama kalinya ia melihat Rose menangis didepannya. Akhirnya Arthur memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan Rose.
Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau tak memikirkan luka yang kau goreskan. Kau membuat luka yang pernah Jonathan goreskan semakin menganga. Pada nyatanya, luka yang tak terlihat itu lebih menyakitkan daripada luka yang berbekas dikulit.
Pagi itu koridor sekolah masih sangat sunyi. Bahkan decitan sepatu bisa bergema dengan leluasa. Lagi-lagi Rose sebagai pendatang pertama. Padahal jam sudah menunjukan pukul 06.30, tetapi ruangan itu hanya ada Rose dan dirinya. Belakangan ini, murid-murid semakin malas ke sekolah terlalu pagi. Begitulah yang terjadi jika ujian sudah berakhir.
Rose mulai mengeluarkan novel yang ia mulai baca seminggu lalu. Perlahan Rose mambukanya, tiba-tiba suara pintu terbuka membuatnya menengokdengan harapan ia tak lagi sendirian. Ternyata lebih dari harapannya itu, Jonathan datang ke kelasnya. Saat hanya ada ia seorang.
"Rose, kau sendiri? Neilan belum datang?" ujar Jonathan. Bilang saja kau hanya mencari Neilan, gumam Rose dalam hatinya.
"Iya, aku sendiri." jawab Rose yang lalu menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Jonathan yang kedua.
"Baiklah, maaf aku mengganggu."
"Ya," sebenarnya perasaan Rose sangat amat tidak terganggu. Hatinya seperti bersorak-sorai. "...kau sama sekali tidak mengganggu." lanjut Rose pelan. Seperti kalimat spontan yang terlontar tanpa diduga. Ternyata Jonathan mendengarnya.
"Boleh aku menemanimu?" tanya Jonathan. Permintaan itu membuat Rose tak bisa menolaknya dan wajahnya mulai terlihat kikuk.
"Ya, tentu boleh. Tetapi Sherin?" tanya Rose. Sherin adalah kekasih Jonathan yang selalu membuatnya iri. Ingin sekali ia berada di posisi Sherin, dicintai oleh laki-laki yang kini duduk disebelahnya itu.
"Ia tak masuk hari ini. Sebenarnya aku juga malas, tetapi.... Ah lupakan! Semua siswa malas jika harus masuk sekolah setelah ujian bukan?"
"Iya..." Rose membenarkan kalimat Jonathan tadi.
"Kau sedang apa?" tanya Jonathan.
"Membaca novel." jawab Rose dengan wajah datarnya.
"Boleh aku berkata sesuatu?"
"Tentang apa? Tentu boleh, itu hakmu."
"Sebenarnya selama ini aku...."
"Rose," Arthur memanggil Rose yang dari tadi melamun dikelas itu.
"Astaga!" Rose terkejut.
"Jadi tadi itu hanya..... Kau! Untuk apa kau disini?" suara yang Rose keluarkan cukup membuat beberapa murid dikelas itu menengok ke arahnya. "Maaf," ujar Rose sambil keluar dari kelas itu dan menuju lantai emapat yang jarang didatangi orang pada saat-saat itu.
"Jadi apa tujuanmu?" tanpa basa-basi Rose bertanya.
"Tak. Lamunanmu adalah salah satu fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap."
"Apa maksudmu?" Rose penasaran.
"Tak, lupakan. Kau tidak suka bukan melihatku? Baiklah, aku akan pergi." Arthur berlalu menembus dinding-dinding beton.


BAB 3
Akhirnya setelah mempertahankan diri untuk tetap masuk sekolah, hari itu Rose memilih tak pergi ke sekolah. Seperti bolos hanya dengan alasan yang lebih kompleks dari pada sakit batuk, pilek atau demam. Tetapi tak semenyeramkan kanker atau sejenisnya. Ini lebih bersangkutan kepada perasaannya yang masih kalut.
Rose tidak sadar, keberadaannya di taman pagi itu sedang dimata-matai. Bukan dimata-matai oleh mafia atau polisi yang mencari buronan, tetapi oleh dua laki-laki yang membuat perasaannya kalut. 
Mungkin membiarkan Rose bahagia akan lebih baik. Mungkin aku memang tak seharusnya lagi menemui dia. Mungkin Jonathan memang lebih pantas baginya. Mungkin dengan bersama Jonathan ia akan lebih bahagia. Diantara semua kemungkinan itu, yang pasti adalah aku harus benar-benar pergi dari hidupnya dan melupakannya. gumam Arthur yang menatap Rose dari kejauhan.
Entah apa tujuan datangnya perasaan ini. Kadang aku hanya ingin bertanya, apa perasaan ini terbalaskan? Aku terlalu pengecut untuk menyatakannya pada perempuan itu. Aku takut cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan yang akhirnya membuatku merasa terhempas jauh. Lagi pula mana mungkin aku menyatakan cinta pada Rose ketika aku masih menjalin hubungan dengan Sherin? gumam Jonathan yang menandang Rose dari sudut lainnya.
Ketika matahari meminta bulan menggantikannya dikala senja datang, nyatanya matahari tak benar-benar meninggalkan bulan. Ia justu membantu bulan untuk bercahaya tanpa pamrih. Walaupun bulan lebih sering dikatakan indah dibanding matahari.
Setelah menulis kalimat itu, Rose melipat kertas itu lalu kembali memandang senja yang hadir dengan keindahannya. "Saat inilah keberadaan matahari akan dipuji. Karenanya senja jadi nampak sangat indah. Matahari rela walau saat itu ia harus tenggelam dan dianggap tak ada setelahnya," ucap Rose.
Taman itu memang berbeda, sinar senjanya sangat indah. Taman itu juga tempat dimana Arthur menyatakan cinta padanya. Taman itu pula yang membuat Rose yakin bahwa Jonathan sudah tak akan lagi ia miliki. Namun, yang lebih menyakitkan didepan taman itu—jalan raya—adalah tempat Arthur menghembuskan nafasnya yang terkahir.
Secara spontan memori-memori itu kembali mengitari otaknya. Tak semua hal dari memori itu buruk dan tak semuanya baik. Tetapi begitulah manusia, lebih suka merenungkan memori buruk dan membiarkannya tinggal dibanding mengingat bertapa beruntungnya ia.


BAB 4
Seketika itu juga, suasana nampak gelap dang dingin. Semuanya terjadi setelah sebuah cahaya menyilaukan menabrak kearah Rose. Seketika itu juga semuanya nampak berbeda. Yang lebih buruk lagi, aku bisa melihat diriku sendiri yang bersimbah darah dan banyak orang yang mengelilingiku.
"Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini?" tak ada seorang pun disana yang menjawab pertanyaan Rose. Padahal keramaian membuat siapapun yang ada disana sesak dan menarik untuk tahu yang sedang terjadi.
"Kemana kalian akan membawa tubuhku?!" pertanyaan itu sangat lantang ia teriakan ketika beberapa medis membawa tubuhnya. Yang lebih kejamnya lagi, tubuh Rose dimasukkan ke kantung mayat. "Aku belum mati!" tangis Rose pecah. Ia hanya bisa terduduk beralaskan aspal dan beratapkan langit. Semuanya bak mimpi buruk.
Tiba-tiba terbesit dalam benaknya, Arthur. Mungkin ini jawabannya, ia dan Arthur akan bersatu selamanya. Ia segera bangkit dan mencari Arthur. Namun, sejauh kaki melangkah dan selama apapun mata memandang, tak sama sekali ia temukan Arthur.
Sang fajar kembali datang, pasti ia lelah menemani bulan semalaman. Tetapi ia tak mengeluh, ia tetap bersinar dengan cerah. Kadang aku ingin sepertinya. Menjadi cerah walau gelap memaksanya untuk pergi.
Makamnya masih basah akibat guyuran hujan. Rose tak tahu lagi harus mencari Arthur kemana, ia putuskan untuk menunggunya disanadimakamnya.
Tak lama, dari kejauhan ia melihat seseorang yang nampaknya tak asing. Ternyata Jonathan. Ditangannya terdapat seikat bunga mawar putih yang sangat indah. Semakin lama Jonathan semakin mendekat dan akhirnya benar-benar ada didepan makan Rose. Tepat didepan Rose yang menyadari kedatangannya.
"Andai kau tahu bahwa aku mencintaimu, tapi aku sadar bertapa pengecutnya aku. Mungkin karena itu aku tak pantas untukmu." kalimat itu membuat Rose kaget bahkan ternganga.
Akhirnya tak satupun cinta yang bisa aku temukan. Selama ini tak pernah aku temukan Arthur, tak pernah sekalipun. Justru Jonathan yang menyatakan perasaannya. Tetapi, aku dan Jonathan tak mungkin bersatu lagi. Semuanya ini seperti keterlanjuran yang menyakitkan. 
Sekarang aku mengerti apa maksudmu Arthur, tentang kalimat 'Lamunanmu adalah salah satu fakta yang belum terungkap atau mungkin tak akan terungkap'Saat itu kau sudah tahu bahwa Jonathan jatuh cinta padamu. Mungkin itu sebabnya kau tak pernah lagi menemuiku.
Aku persembahkan kisahku ini pada Arthur yang entah dimana saat ini dan Jonathan, apa kau masih menyimpan perasaan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar